Happy Reading!
*****
Annisa terduduk lemas, mengepalkan kedua tangan.
Selama ini, ia selalu mendukung teman-temannya dari belakang. Dia tidak pernah ikut campur lebih banyak, mengalah diam-diam, dan memutuskan untuk memantau dalam jarak. Gadis itu selalu menganggap bahwa segala keputusan yang terjadi di antara mereka adalah kebenaran.
Annisa menyukai Giovanni. Sangat. Dia menyayangi pria itu dalam diam, memantau di balik meja kantin yang panjang. Melihatnya duduk di samping Gladis adalah rasa sakit yang harus ia terima. Tidak pernah ia tahu bahwa saingan dalam merebut sang pujaan adalah salah satu sahabatnya.
Gladis adalah satu-satunya perempuan yang ada di kasta tertinggi. Dia cantik dan berani mengambil resiko dengan penuh percaya diri. Jika ingin merebut Giovanni dari Gladis, maka bersiaplah untuk mati.
Oleh sebab itu, Annisa memilih untuk berhenti.
Cinta itu tidak adil. Cinta itu jahat dan munafik. Dari pada ditindas hingga depresi, ia memutuskan untuk mengalah dan menangis hampir setiap hari.
"Clara, ayo bangun..."
Akhir-akhir ini, langit terus meneteskan air. Hujan turun tak berhenti. Pelangi kadang-kadang mengintip, tapi menghilang saat mendung kembali. Petir menyambar beberapa kali, membuat suasana semakin ngeri. Meski lampu terlihat terik, perasaan dari dua gadis yang ada di kamar itu tidak cerah sama sekali.
"Udah tiga hari lo nggak masuk, masa harus gini terus...?" Annisa bergumam, menggoyangkan tubuh yang dilindungi oleh selimut tebal. "Sebentar lagi ujian, jangan manja. Oxford nggak mungkin nerima orang yang males-malesan ... ya, 'kan?"
Oxford, universitas terbaik nomor satu di dunia. Semua orang yang baru lulus dari sekolah menengah pasti ingin masuk ke sana jika diberi kesempatan. Tidak ada yang boleh mencoreng mimpinya untuk meraih penghargaan dan gelar di universitas terhebat, termasuk rasa sakit dari seorang lelaki antah berantah.
Clara semakin menenggelamkan diri dalam selimut, mengabaikan rengekan Annisa yang terdengar terus-menerus. Hujan pun kembali turun, mewakili perasaan dari dua perempuan dengan hati yang sendu.
Annisa tidak tahu apa yang terjadi. Dia adalah salah satu figuran yang sulit menerima situasi. Kedua temannya terlihat susah untuk dipahami. Gladis seakan menghilang ditelan bumi. Clara pun tampak seperti orang mati.
"Makan dulu, ya?" Annisa mengambil semangkuk bubur ayam, sudah dingin dan mengembang. Layak untuk dimakan karena masih satu jam setelah penyajian. "Gue suapin deh biar lo semangat. Ayo, bangun."
Tidak ada pergerakan. Clara masih betah bersembunyi di dalam selimut yang hangat. Annisa menghela napas pasrah, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat. "Bentar lagi Kakak lo pulang, masa mau dimarahin lagi?"
Annisa mengulum senyum saat Clara perlahan bangkit. Selimut tersibak ke bawah, menampakkan tubuh ramping dengan baju tidur berwarna cokelat. Rambut tampak berantakan, belum disisir dalam waktu yang lama. Matanya kusam, membengkak. Wajah tampak pucat, tidak terawat. Bibir pecah-pecah, kurang cairan. Tangan gemetar, cemas tanpa alasan.
Clara melirik ke kiri, Annisa menawarkan bubur dengan senyuman manis. "Makan ya?"
Tanpa persetujuan, Annisa memberikan satu sendok penuh bubur dan suwir ayam. Clara membuka mulut, mengunyah pelan-pelan.
Annisa merasa lega. Dia senang karena Clara masih bisa menerima nutrisi di dalam perutnya. Jika perempuan itu tiba-tiba muntah, ia tidak tahu harus berbuat apa. Intinya, Clara masih dalam keadaan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA YANG SAMA [BL]
Dla nastolatków[CERITA HOMO] [ 🔞 DI BAB TERTENTU] [DRAMA, TIDAK ADA HUMOR] [DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jika diperhatikan, Reza Samuel Ivander adalah wujud dari manusia yang sulit ditebak. Dikenal karena kecerdasan dan gaya bicara yang formal, ia memutu...