Happy Reading!
*****
Malam itu terlihat begitu indah.
Meski begitu, Stevan menolak keras mengenai besok adalah hari pertama setelah menyambut akhir pekan. Senin termasuk hari mematikan dan paling memuakkan untuk seluruh pelajar di Indonesia. Kenyataan memaksanya untuk melanjutkan hidup sebagai siswa dengan drama yang tidak masuk akal.
Menemui Arya pada hari Sabtu kemarin merupakan bentuk kesialan paling sial yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Tidak pernah sekali pun bahwa salah satu teman yang paling akrab akan mengucapkan candaan menjijikkan saat situasi belum kembali seperti biasa.
"Gue juga ... kayaknya homo. Soalnya gue suka sama lo."
Perkataan itu terus terngiang-ngiang di dalam kepala. Perkataan yang tidak pernah ia sangka akan keluar dari mulut sahabatnya. Sulit untuk percaya karena Arya berucap seolah hal semacam itu bukan sesuatu yang terlarang.
Bertingkah seperti menolak, Stevan langsung berdiri dan mundur ke belakang. Kursi yang ia duduki seketika terjatuh dan terbanting keras. Ekspresinya terlihat takut dan tertekan.
"L-Lo juga homo!?"
Namun satu detik kemudian, Arya tertawa.
Tawaan tersebut membuat Stevan seketika lemas. Melihat Arya yang hampir tergelincir di lantai dapurnya membuat Stevan emosi sampai ke tulang. Kaleng soda segera dilempar, hampir mengenai kepala Arya yang sibuk tertawa sampai air liurnya muncrat.
"Becanda ada batasnya ya! Udah serius juga, Sialan!"
"Lo harusnya ngaca! Muka lo kayak orang yang mau diperkosa—pfft, HAHAHA!"
Stevan menggigit bibir, kembali mengumpat. Bola ia pegang dan dipantulkan dengan keras. Sekali, dua kali, tiga kali. Dribble dilakukan, suara pantulan terdengar semakin kencang. Dia melompat, melakukan lay up dengan indah.
Bola berhasil masuk secara sempurna.
Stevan mengatur napas, mata sibuk menatap bola yang terjatuh dan menjauhi lapangan.
Kedua kaki bergerak, memutari lapangan dan tangan mengambil bola. Kepala mendongak, menatap kegelapan serta bulan yang bersinar di atas sana. Stevan akan diomeli oleh ibu dan kakak perempuannya jika ia ketahuan bermain basket saat malam mengudara.
Namun, apa daya, ini adalah kebiasaan yang ia suka. Mengacu jantungmu semaksimal mungkin akan membuatmu lupa dengan seluruh beban samar yang ada. Melupakan sesaat berarti istirahat. Bagi Stevan, basket adalah narkoba. Membuatnya lupa dengan segala hal yang ada di dunia, termasuk perselisihan yang terjadi di antara mereka semua.
Diam-diam, ia bersyukur.
Selama tiga tahun berturut-turut, basket adalah satu-satunya keahlian yang ia punya. Dia bangga berhasil masuk ke SMA Nusantara, sekolah swasta bergengsi sekaligus bermain di tim basket sebagai pemain utama. Dia juga beruntung karena bisa berteman dengan Giovanni. Karena pria itu, ia mampu berjalan di lorong sekolah dengan penuh percaya diri.
Giovanni adalah teman yang baik. Dia pun berhak memilih jalannya sendiri.
Karena Giovanni pula, Stevan dapat bertemu teman-teman yang membuatnya berkembang ke hal yang benar. Dia bergaul secara sehat, tidak perlu melakukan hal-hal konyol untuk menarik perhatian.
Oleh sebab itu, sebagai teman, ia akan mendukung semua keputusan yang akan terjadi di masa depan.
Meski tidak terlalu dekat, Stevan cukup mengenal Reza sebagai sosok yang tidak macam-macam. Lelaki itu juga sangat baik padanya. Dia sopan dan cerdas. Tidak ada alasan untuk menolak hubungan mereka selain aturan yang mengatakan laki-laki harus bersama perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA YANG SAMA [BL]
Teen Fiction[CERITA HOMO] [ 🔞 DI BAB TERTENTU] [DRAMA, TIDAK ADA HUMOR] [DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jika diperhatikan, Reza Samuel Ivander adalah wujud dari manusia yang sulit ditebak. Dikenal karena kecerdasan dan gaya bicara yang formal, ia memutu...