Happy Reading!
***
Sebagai putri dari keluarga kaya, Gladis selalu berpikir bahwa ia mampu memiliki apa yang ia inginkan.
Dengan jentikkan jari, kau bisa membuat semua pelayan berjejer di hadapanmu, kemudian menyuruh mereka untuk menyiapkan makanan yang kau mau. Jika tidak merasa cukup, kau bisa memarahi dan memecat pelayan-pelayan itu dan menggantinya dengan yang baru.
Dengan satu permintaan, kau mampu membeli semua pakaian, ponsel, atau barang-barang dari merek ternama dan memamerkannya di depan teman-temanmu. Setelah melihat ada rasa iri yang membumbung tinggi, kau beranggapan bahwa di antara semua perempuan di dunia ini, dirimu adalah yang terbaik.
Dengan satu kedipan manja, kau mampu membuat Ayahmu memberikan kartu hitam yang bisa menarik uang sebanyak mungkin, lalu memakai uang tersebut untuk bersenang-senang dan membeli kebahagiaan abadi. Kau menggunakan uang itu, menghamburkannya seperti manusia rakus yang tidak tahu malu.
Dengan kecantikan tanpa batas, kau bisa memilih semua laki-laki dan membuat mereka mengencanimu. Kau boleh melakukan apapun, termasuk membiarkan mereka menjilati sepatumu sambil mengemis cinta yang semu.
Itulah yang Gladis pikirkan. Dia berpikir bahwa ia bisa membeli apa saja, termasuk cinta.
Padahal tidak.
Gladis bertemu dengan Giovanni saat mereka berusia tiga belas tahun.
Saat itu, langit sedang dirudung oleh mendung. Hujan perlahan turun ke dunia ditemani suara tangisan dari para kerabat dekat. Mansion Meriana telah dikerumuni oleh duka, kegelapan menghiasi ruangan luas yang diisi oleh keberadaan orang-orang kaya.
Mereka berpakaian hitam. Wajah kebanyakan pucat. Sedikit dari tamu menatap peti berwarna emas, menangisi seorang wanita yang kini beristirahat. Ditemani senyuman indah, wanita itu tertidur dalam kondisi tangan terlipat yang diselipi dengan bunga mawar berwarna merah.
Gladis berdiri di samping peti, mengabaikan tangisan Aldy yang sedang dipeluk oleh kerabat lain. Matanya menatap ke bawah, memandangi Ibunya yang telah menutup mata. Tidak ada tangisan. Tidak ada jeritan. Tidak ada rasa putus asa.
Namun, hatinya luar biasa muram.
Tidak perlu waktu lama, Radi sudah berdiri di dekatnya. Ayahnya yang keras itu sudah pulang setelah berbulan-bulan berselingkuh dengan perempuan-perempuan jalang di luar sana.
"Ayah."
Radi masih betah memandangi mayat istrinya, tidak ingin menjawab.
"Ayah nggak bisa bangunin Bunda?"
Pertanyaan itu terkesan bodoh untuk dilontarkan oleh seorang bocah. Radi tidak tertawa, tersenyum pun tidak. "Maksud kamu?"
"Uang Ayah 'kan banyak. Nggak bisa ya bikin mesin khusus buat bangkitin orang mati?"
Gladis merasa Ayahnya itu mendekat, menepuk puncak kepalanya. Dia merasakan bibir Radi mendekat ke telinga, kemudian membisikkan sesuatu yang mampu membuatnya merapal sumpah serapah.
"Kalau pun bisa, Ayah nggak akan memakai mesin itu untuk membangkitkan Bunda kamu."
Gladis mengerjap, tidak bereaksi apapun. Dia hanya menatap kepergian Radi yang menjauh karena menyambut dua orang tamu. Tidak sengaja, Gladis juga menatap tamu tersebut dengan bingung.
Pria itu tinggi dan berisi, tidak terlalu kurus. Matanya berwarna cokelat terang, layaknya sosok baik hati dan murah senyum. Berbeda dengan Radi, orang itu tampak berkarisma karena pembawaan yang tidak buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA YANG SAMA [BL]
Novela Juvenil[CERITA HOMO] [ 🔞 DI BAB TERTENTU] [DRAMA, TIDAK ADA HUMOR] [DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jika diperhatikan, Reza Samuel Ivander adalah wujud dari manusia yang sulit ditebak. Dikenal karena kecerdasan dan gaya bicara yang formal, ia memutu...