Awalnya, rumah besar yang Ren tinggali, berisikan dirinya, nenek dari pihak ayah, kedua orang tuanya, dan juga dua orang asisten rumah tangga yang kebetulan tinggal di sana. Anehnya, sejak sang nenek meninggal di usia Ren yang ke tujuh, Ren merasa bahwa rumah itu hanya berisikan dirinya seorang.
Lidya sang ibu atau Dewangga sang ayah sama-sama sibuk bekerja sejak ia masih bayi, sehingga sang neneklah yang selalu setia merawatnya. Karena itu, Ren selalu mencari cara untuk mencari perhatian samua orang.
Namun nyatanya, hal itu tak membuat kedua orang tuanya peka, terlebih Lidya. Wanita itu seakan tak peduli apa pun yang terjadi pada Ren."Ren, ini udah jam sepuluh malem, yuk tidur sayang. Nanti Mama marah."
Anak itu menggelengkan kepalanya. Ia masih setia memeluk sekotak kardus berwarna putih yang entah apa isinya. Bi Tina—sang asisten rumah tangga— bahkan sudah menguap berkali-kali akibat menahan kantuk.
"Mama sibuk banget ya, Bi? Ren udah telepon, udah chat, tapi enggak direspon sama Mama."
Bi Tina menghela napas. "Kayaknya lagi dijalan deh, mending Ren tidur dulu aja, Nak, nanti Bibi bangunin kalo Mama udah pulang."
"Mm, boong enggak tuh?" Ren menatap Bi Tina dengan mata bulatnya, pipi mengembungnya, juga bibir yang mempout lucu. Bi Tina gemas sendiri melihatnya. Ia pun mencubit pelan ujung hidung Ren.
"Iyaa sayang. Kapan Bibi bohong?"
Ren menatap ke atas dengan jari telunjuk yang mengetuk pelipis. Ia sedang mengingat sesuatu.
"Ah! Bibi enggak pernah boong kayak Mama."
Bi Tina tersenyum hangat sambil memeluk Ren. Ia sangat menyayangi anak itu. Sejak sang nenek meninggal, Bi Tina lah yang mengagantikan sosok beliau untuk merawat Ren.
"Mama bukannya bohong Sayang, tapi terpaksa karena keadaan. Jadi jangan bilang gitu lagi ya, enggak baik. Ren mau jadi anak soleh 'kan? Mau masuk surga?"
Ren mengangguk, masih dalam pelukan Bi Tina.
"Nah, surga itu, ada di telapak kaki Mama. Dan kalau mau masuk surga, Ren harus jadi anak baik dulu. Ren harus nurut, sayang, dan menghormati Mama, tapi jangan sampai lupa juga sama Papa. Ya, Nak?"
Lagi-lagi Ren hanya mengangguk, tetapi kali ini lebih bersemangat. Senyumannya bahkan tampak lebih lebar dengan kedua mata yang berbinar. "Ren sayang Mama, Papa, Nenek, sama Bi Tina juga," ucapnya lalu mengeratkan pelukannya.
Setelah beberapa menit terlewati, bahkan hampir satu jam Ren menunggu, mamanya tak kunjung datang. Anak itu bahkan sudah terkantuk-kantuk dan bahkan sempat hampir terantuk pinggiran meja, kalau saja Bi Tina tidak secepat kilat menahannya.
"Tidur di kamar aja yuk, Nak?"
"Emm, Ren mau nunggu Mama. Soalnya Ren kangen, katanya hari ini Mama pulang, jadi Ren harus jadi orang pertama yang Mama lihat."
Bi Tina pun hanya bisa mengangguk pasrah. Namun pada akhirnya, rasa kantuk Ren hilang seketika saat mendengar pintu utama terbuka, dan suara ketuka heels pun kian mendekat. Membuat Ren segera turun dari sofa lalu berlari ke ruang tamu.
Saking semangatnya, Ren bahkan tersandung kakinya sendiri dan berakhir jatuh di depan Lidya yang menatapnya dengan wajah lelah.
"Mama," sapanya dengan cengiran. Ia tak sadar kalau hidungnya berdarah akibat berbenturan dengan lantai. Melihat hal itu Lidya menghela napas kesal sambil mengambil beberapa lembar tisu yang tersedia di meja. Ia membersihkan darah di hidung Ren.
"Kenapa Ren jam segini belum tidur?"
"Astaghfirullah Ren!" Bi Tina yang baru sampai pun dibuat terkejut kala melihat keadaan anak itu. Ia hendak mendekati Ren, tetapi tertahan akibat pertanyaan Lidya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara✔
ФанфикRenjana Lazuardi, si kesayangan Papa Dewangga, si penebar keceriaan, si pelipur lara, dan si luka tak kasat mata.