24. Ingatan Mama

6K 595 71
                                    

SORE! KOMENNYA JANGAN LUPA!
.
.
.

Luka Mikaya tak seberapa, dia masih mampu berjalan normal. Namun kekhawatiran Nia sebagai seorang ibu tidak bisa ditahan, Nia meminta Mikaya agar menetap sementara waktu di rumahnya sampai Mikaya benar-benar sembuh. Wanita paruh baya itu juga membujuk Mikaya untuk beristirahat dengan tenang tanpa perlu memikirkan soal kantor. Merasa Nia sudah sangat baik padanya, Mikaya segan menolak permintaan Nia tersebut. Alhasil sore tadi Mikaya meminta Alya membawakannya baju ganti untuk digunakannya selama di rumah Nia. Mikaya sebetulnya sadar jika dia bukan siapa-siapa di keluarga Jeffriyan, tapi perhatian yang diterimanya dari keluarga itu terutama orang tua Jeffriyan, membuat Mikaya merasa sangat nyaman di sana. Mikaya seperti sedang diurus oleh orang tua kandungnya sendiri. Nia memasakkan Mikaya makanan kesukaannya, menyuapi Mikaya, bahkan sampai menemani Mikaya malam ini di kamar.

“Ma.” Mikaya memeluk Nia yang berbaring di sampingnya.

Nia membelai surai hitam Mikaya. “Kenapa?”

Mikaya menggeleng. Dia tersenyum simpul. “Seneng aja bisa diperhatiin sama Mama.”

“Mama ini Mama kamu, jelas Mama harus memperhatikan kamu.” Sejenak Nia terdiam. Namun tangannya tak berhenti membelai rambut Mikaya, dan ingatannya mulai menyelam pada beberapa tahun lalu, tepat di hari berduka itu terjadi. “Mama gak mau liat kamu hancur lagi seperti di hari kematian orang tua kamu.”

Nia ingat jelas, tiga tahun lalu Mikaya yang berwajah pucat, duduk di samping jenazah kedua orang tuanya, meratapi kematian mendiang dengan tatapan kosong. “Kita samperin Mikaya yuk Jeff,” ajak Nia pada Jeffriyan saat itu. Mereka datang berdua ke Cina untuk berbelasungkawa pada keluarga yang ditinggalkan, Jordan tak bisa datang sebab dia sedang di Eropa.

“Mama aja, aku tunggu sini,” tolak Jeffriyan.

Nia tidak banyak berbicara. Dia mendekati Mikaya, mengusap bahu Mikaya yang turun tak seperti biasanya. “Nak,” panggil Nia.

Mikaya menoleh. Dia tersenyum tipis dengan bibir pucatnya. “Tante dateng?” tanyanya lirih. Nia mengangguk. Dipeluknya tubuh Mikaya oleh Nia. Selama beberapa detik Mikaya hanya diam, namun saat Nia membisikkan kata sabar, Mikaya mulai menangis. “Mama sama Papa aku pergi...” isak Mikaya.

Nia ingin menangis juga, dia merasa kehilangan teman dan sahabat meski dia dan orang tua Mikaya belum kenal lama, tapi sebisa mungkin Nia menahan air matanya. Dia ingin menguatkan Mikaya. “Sabar Kay.”

Mikaya masih menangis. Pertahanannya sejak tadi runtuh karena pelukan tulus Nia. “Mereka udah pergi, aku sendirian.”

“Enggak, Mikaya gak sendirian. Ada Tante di sini. Mama sama Papa Mikaya pernah minta Tante dan Om Jordan buat anggap Mikaya seperti anak kami sendiri.”

“Aku gak punya siapa-siapa.” Mikaya merasa sangat ditinggalkan, sendiri, sebatang kara.

“Enggak nak, ada Tante.”

Jeffriyan terdiam melihat Mikaya yang nampak rapuh dipelukan sang mama. Lelaki itu turut prihatin dengan kejadian yang menimpa Mikaya. Jeffriyan perlahan mendekat pada kedua wanita yang sedang berpelukan tersebut, tangannya yang ragu, mengusap punggung tangan Mikaya. Jeffriyan tak membuka suara sedikitpun. Tapi dia harap, Mikaya akan segera pulih.

“Tante, T-tante mau tolongin aku?” tanya Mikaya terisak.

“Kamu mau apa? Tante pasti bantu kamu.”

TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang