58. Bar

6.5K 640 81
                                    

.
.
.

Kembalinya Mikaya ke kantor disambut gembira para pegawainya, begitupun sebaliknya. Mikaya sangat senang bisa menginjakkan kaki kembali ke kantornya yang sudah enam tahun tidak dia datangi. Selama enam tahun, kantor mengalami beberapa perubahan, baik dalam segi pegawai ataupun bentuk gedung. Ruangan ditambah, banyak pegawai muda yang sebelumnya tidak pernah Mikaya lihat. Namun Mikaya tidak heran dengan perubahan yang terjadi, sebab dia juga selalu memantau kondisi kantor perusahaannya selama enam tahun belakangan meski melalui Danela dan ponsel. Membayangkan di hari pertamanya kembali ke kantor akan bersantai dan berencana mentraktir para pegawainya, nyatanya Mikaya langsung dihadapkan oleh rentetan jadwal pekerjaan yang sudah Danela siapkan dari jauh-jauh hari.

“Apaan? Masa gue baru masuk udah harus ikut acara pelelangan gini?” protes Mikaya membaca jadwal pertamanya hari ini. “Harusnya lo minta Pak Gustaf dong yang dateng. Gue gak bisa ya Dan dateng ke acara sepenting ini secara mendadak.” Pak Gustaf, salah seorang manajer di perusahaan Mikaya.

“Pak Gustaf ikut Kay, lo juga harus ikut.”

“Gak,” tolak Mikaya, menyilangkan tangannya ke depan dada.

Danela menghela napas panjang. “Oke kalau lo gak mau dateng, urusan pelelangan bisa diwakilkan. Tapi lo harus dateng ke acara ini.” Danela menunjukkan ponselnya pada Mikaya, sebuah undangan digital mengundang Mikaya hadir ke sebuah acara pernikahan.

“Siapa tuh yang nikah?” tanya Mikaya.

“Putrinya Pak Guntur.”

“Guntur? Oh pengacara yang ngewakilin perusahaan kita?”

“Iya, lo harus dateng ke sana.”

“Kalau gue gak mau?”

Kepala Mikaya ditoyor Danela. Hanya Danela yang berani bersikap demikian pada atasannya. “Pak Guntur udah banyak bantu perusahaan. Apalagi enam tahun lalu, begitu kabar lo menghilang tersebar di kalangan pemegang saham, mereka banyak yang berusaha narik sahamnya dari perusahaan kita. Untungnya Pak Guntur bisa nenangin badai gila itu.”

Mikaya menghela napas panjang. “Iya paham gue. Jam berapa acaranya?”

“Nanti malam.”

“Yaudah, gue titip anak-anak gue ya ke lo nanti malam.”

“Lo belum cari nanny?” tanya Danela.

“Belum.”

“Terus sekarang mereka sama siapa?”

“Sama gurunya, 'kan sekolah.”

“Maksud gue kalau mereka di rumah sama siapa Mikaya? Sedangkan lo udah mulai kerja.”

“Hari ini gue izin pulang lebih awal buat jaga mereka. Besok gue janji bakal dapet nanny buat jaga Sina sama Saki.” Bukan keinginan Mikaya menitipkan anak-anaknya pada seorang pengasuh, yang Mikaya inginkan adalah merawat mereka secara langsung. Tetapi keadaan memaksa Mikaya harus membagi waktu antara kantor dan anak-anak. Sehingga Mikaya akan memakai pengasuh untuk menjaga anak-anaknya selagi dirinya bekerja.

Jadwal Mikaya padat hari ini. Pukul tujuh sampai dua belas siang dia di kantor, setelahnya menjemput Sina dan Saki di sekolah, kemudian menjaga si kembar di rumah, lalu pukul tujuh malam Mikaya mengantarkan anak-anaknya ke rumah Danela. Satu tangannya membuka pintu mobil untuk anak-anaknya, satu tangannya lagi Mikaya gunakan memegangi gaunnya yang panjang. “Sina Saki, selama di rumah Tante Danela jangan nakal, main bareng sama Dea oke? Nanti Mommy jemput lagi ke sini,” pesan Mikaya pada anak-anaknya.

TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang