Selamat sore semua!!
.
.
.
Mikaya memandangi dua koper besar miliknya yang berada di dekat pintu keluar. Koper-koper itu siap dimasukkan ke dalam bagasi mobil untuk dibawa, yang Mikaya sendiri tidak tahu akan dibawa ke mana. Mikaya hanya menjalankan perintah Nia. Semalam ibu dari mantan suaminya itu memintanya agar mengemasi pakaian dan barang yang sekiranya penting. Mikaya langsung teringat pada ucapan Nia beberapa bulan lalu, di mana Nia akan menjauhkan Mikaya dari Jeffriyan apabila lelaki itu menyakiti Mikaya lagi. Dan mungkin pagi ini Mikaya akan segera meninggalkan rumahnya. Mikaya menarik napasnya dalam dan mengeluarkannya perlahan. Kepalanya pusing memikirkan banyak hal. “Mikaya.”Mikaya melihat ke arah pintu, Nia datang dan langsung memeluknya. Awalnya Mikaya tak ingin menangis, namun pelukan Nia seolah menghancurkan pertahanan Mikaya. Wanita hamil itu mengeluarkan air matanya, mulai menangis dipelukan Nia. “Maafin Jeffriyan, maafin anak Mama,” ujar Nia ikut terisak.
“Aku salah apa ya Ma...? Kenapa Mas Jeffriyan selalu jahat sama aku?” lirih Mikaya.
“Enggak, Mikaya gak salah apa-apa. Mama dan Jeffriyan yang salah. Mama gak bisa mendidik Jeffriyan jadi anak yang baik, Mama terlalu mempercayakan Jeffriyan untuk menjaga kamu. Maafin Mama dan Jeffriyan.” Nia mengurai pelukannya, dia menangkup wajah Mikaya dan menyeka air mata wanita yang sudah dia anggap seperti anak sendiri. “Mama udah coba bilang sama Jeffriyan untuk berhenti nyakitin kamu, Mama tampar Jeffriyan supaya dia sadar sama apa yang dia lakuin ke kamu. Tapi Mama gagal, Jeffriyan masih bersikukuh membela Medina. Kay, Mama gak tau harus berbuat apalagi supaya Jeffriyan sadar kalau keputusannya salah.”
Mikaya menggeleng. “Gak ada yang tau selain Jeffriyan sendiri kalau keputusan yang diambilnya benar atau salah. Itu pilihan Jeffriyan Ma, biarin dia milih. Tapi aku akui, aku sakit hati sama kebohongan dia ke aku selama ini. Setiap malam aku sampai bertanya-tanya dalam hati, kenapa Mas Jeffriyan bisa setega itu sama aku? Cuma nganggap aku sebagai pemuas napsunya.”
Hancur hati Nia mendengar isi hati Mikaya. Nia seorang wanita sekaligus ibu, tak ada seorangpun ibu yang mau melihat putrinya menderita. “Kay, Mama udah pernah janji ke kamu, kalau Jeffriyan jahatin kamu lagi, Mama akan bawa kamu pergi jauh dari dia. Sekarang Mikaya ikut Mama ya? Biar Jeffriyan berhenti ganggu kamu dan gak terus datengin kamu untuk mohon-mohon bebasin Ayahnya Medina.”
“Kita mau ke mana Ma?” tanya Mikaya.
“Ke manapun yang Jeffriyan gak akan tau. Itu koper kamu 'kan? Biar dibawain supir Mama ke bagasi ya.” Nia akan memanggil supirnya, namun tangannya lebih cepat ditahan Mikaya.
“Ke mana Ma?” tanya Mikaya lagi.
“Ada, ke sebuah tempat.”
Mikaya mengalihkan pandangannya pada foto orang tuanya yang terpajang di tembok. Tatapannya terpaku pada benda itu selama beberapa detik.
“Mikaya, ayo,” ajak Nia.
“Aku gak bisa Ma.” Mikaya kembali melihat Nia. “Kasus kecelakaan yang merenggut nyawa Mama sama Papa aku belum selesai. Belum ada putusan soal hukuman Om Bara. Aku gak bisa pergi ke mana-mana.”
“Tapi kalau kamu gak pergi, Jeffriyan bakal terus menemui kamu, Mama yakin itu. Mama tau gimana perasaan kamu Kay, kamu pasti sakit setiap kali liat Jeffriyan. Mama gak mau kamu menderita, Mama mau kamu, dan dua cucu Mama bahagia.” Belum kering mulut Nia berbicara, Jeffriyan benar datang ke rumah Mikaya seorang diri. Melihat kehadiran Jeffriyan, Mikaya mengeratkan kepalan tangannya. Keinginan Mikaya untuk menampar wajah Jeffriyan sungguh besar. Tapi Mikaya menahan diri, dia menghormati keberadaan Nia, orang tua Jeffriyan. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Nia.
Jeffriyan menatap Mikaya yang berdiri di belakang Nia. “Kamu mau ke mana Kay?” tanya Jeffriyan, tak mengindahkan pertanyaan sang ibu.
“Ke manapun gue bukan urusan lo,” balas Mikaya angkuh.
“Jeff, kamu pergi dari sini. Kamu udah memilih,” usir Nia.
“Aku milih Medina bukan berarti Mama boleh bawa Mikaya pergi,” kata Jeffriyan.
“Maksud kamu apa?” tanya Nia.
Jeffriyan mendekat pada Mikaya, berdiri tepat di hadapan mantan istrinya. “Mikaya gak boleh ke mana-mana. Kamu gak akan bisa pergi ke manapun Kay.”
Mikaya mendecih. “Mau lo tuh apa sih? Lo gak perlu lagi ikut campur urusan gue. Lo urus aja itu Medina, udah puas juga 'kan lo pake badan gue? Makanya lo mati-matian bela Medina.” Mendadak Mikaya sangat ingin pergi ketika Jeffriyan menahannya seperti ini. “Ma, aku bakal ikut Mama pergi.”
“Enggak Kay!” Jeffriyan menahan tangan Mikaya. Lelaki itu merasa keberatan. Ditepisnya tangan Jeffriyan kuat-kuat oleh Mikaya, sampai pergelangan tangan Jeffriyan mengenai cincin pernikahan Mikaya dan berdarah. “Aw...” Jeffriyan meringis, namun Mikaya tak perduli. Wanita itu justru melepas cincinnya. Mikaya tidak pernah melepas cincin ini meski dia dan Jeffriyan telah bercerai. Pernah sekali, namun tak sampai satu hari berlalu Mikaya memakai cincin itu kembali. Ada sebuah alasan mengapa Mikaya tak bisa melepas cincinnya, Mikaya memiliki harapan. Harapan besar terhadap hubungannya dan Jeffriyan. Namun kini Mikaya tidak memilikinya lagi, harapan itu telah tenggelam dengan air matanya yang terus berjatuhan.
Mikaya memandang sendu Jeffriyan, tapi masih memperlihatkan betapa kecewa dan bencinya dia pada Jeffriyan. “Berhenti ganggu hidup aku Mas, aku mohon,” pinta Mikaya terdengar putus asa.
“Aku bukan mau ganggu kamu. Tapi...” ucapan Jeffriyan menggantung, mulutnya sulit berucap saat ditatap Mikaya begini.
“Mikaya, kita pergi sekarang.” Nia merangkul tangan Mikaya. Keduanya melangkah pergi.
“Taruhan kita belum selesai Mikaya!” teriak Jeffriyan sekuat mungkin. Langkah kaki Mikaya berhenti di ambang pintu.Wajah Jeffriyan memerah, tekadnya menahan Mikaya semakin kuat. “Kamu udah tau kalau perasaan aku itu cuma palsu, artinya kita belum dapat pemenang di taruhan ini.”
Mikaya berbalik. “Omong kosong apalagi ini?” tanya Mikaya lelah.
“Rentang waktu taruhan ini satu tahun, sampai mereka lahir.” Jeffriyan menunjuk perut Mikaya menggunakan dagunya. “Dan ini belum sampai satu tahun, kamu gak boleh pergi ke mana-mana sampai taruhan ini benar-benar selesai.”
“Persetan sama taruhan! Gue udah gak kuat bahkan buat natap mata lo!” bentak Mikaya.
“Tapi lo juga gak bisa seenaknya Mikaya! Kita udah buat kesepakatannya!” sahut Jeffriyan tak kalah keras.
“Gue gak bisa seenaknya sedangkan lo bisa?!” Mikaya mendekat pada Jeffriyan. “Denger ya Jeff, gue udah bener-bener muak sama lo. Gue gak perduli lagi sama apa yang lo lakuin, lo mau bela Medina? Silahkan, itu pilihan lo. Dan gue juga punya pilihan sendiri. Gue bakal pergi jauh, ke tempat yang gak bakal lo sangka gue ada di sana dan hidup bahagia sama anak-anak gue, tanpa lo.”
Gais maaf kalau kurang ngefeel🥺
KAMU SEDANG MEMBACA
TARUHAN
Fanfiction[17+]Bagi Mikaya, Jeffriyan adalah kesalahannya. Dan bagi Jeffriyan, Mikaya hanya sebatas wanita taruhannya.