47. Sekolah

8.1K 696 97
                                    

Buat yang lupa Gema siapa, baca lagi di chapter 29 yaa!!!

Untuk penjelasannya bakal keluar di beberapa chapter kedepan, tenang saja

.
.
.

“Sina! Saki! Udahan mainnya, ayo mandi sore!”

Di depan teras, Mikaya berkacak pinggang seraya meneriakkan nama yang ditujukan kepada dua orang anak yang sedang bercanda tawa di antara tingginya pohon singkong. Anak-anak itu tak lain adalah darah daging Mikaya, anak kembar Mikaya. Alsheena Pranita atau yang akrab di panggil Sina oleh orang sekitar merupakan seorang anak perempuan yang lahir lebih dulu dibanding kembarannya. Lima menit setelah kelahiran Sina, seorang bayi laki-laki lainnya lahir, dia Alsaki Pradipta dengan nama panggilannya Saki.

“Kita gak main Mommy! Kita lagi bantu Eyang uti cabut singkong,” ujar Saki.

“Iya Mommy, mandinya lima menit lagi,” timpal Sina.

Mikaya menghela napasnya. Dia membiarkan Sina dan Saki lebih lama lagi di kebun singkong. Sesekali Mikaya ikut tersenyum melihat anak-anaknya yang asik dengan dunianya sendiri. Tidak ada rasa geli atau jijik untuk Sina dan Saki saat tubuh mereka kotor dipenuhi tanah dan lumpur, mereka sudah terbiasa dengan hal seperti ini sejak kecil. Saat umur Sina dan Saki menginjak tiga tahun, Ratih membawanya bermain lumpur di belakang rumah. Anak-anak Mikaya tumbuh lebih banyak dengan alam, mereka jarang memainkan gadget karena Mikayapun membatasinya.

“Mommy ini singkong buat Mommy. Saki lho yang nyabut singkongnya.” Saki berlarian ke arah Mikaya, kemudian memberikan hasil yang dicabutnya ke sang mama.

“Bohong, itu Sina yang nyabut, si ompong gak kuat nyabut singkong,” cibir Sina pada Saki. Sina selalu memanggil Saki dengan sebutan ompong semenjak kembarannya tersebut mengalami copot gigi di bagian atas.

“Dih orang Saki yang cabut kok,” kata Saki tak terima.

“Sina!” balas Sina.

“Udah, kalian berdua yang nyabut.” Ratih datang melerai. “Sekarang mandi sana sama Mommy, sini biar singkongnya Eyang yang bersihin. Nanti malam kita rebus buat di makan sama-sama.”

“Di goreng aja Eyang, kayak yang Mommy buat. Ditambah keju, pasti enaaak banget,” saran Saki.

Ratih dan Mikaya tertawa dengan cara Saki mengekspersikan diri. Gigi atasnya di bagian tengah kosong melompong. “Iya nanti Eyang buatin yang jauh lebih enak dari buatan Mommy.”

“Yes! Makasih Eyang,” ucap Saki.

“Ayo, sekarang kita mandi.” Mikaya menggiring anak-anaknya ke kamar mandi. Dia memandikan mereka, membantu mereka berpakaian, dan sekarang sedang menyisir rambut Sina. Tidak bisa melihat kedamaian di sekitarnya, Saki dengan usilnya mengacak kembali rambut Sina yang sudah Mikaya tata serapih mungkin, membuat Sina menggeram kesal.

“Saki!” geram Sina.

“Yaampun Saki.” Mikaya menggeleng lelah.

Saki tertawa puas. “Hahaha rambut Sina kayak kingkong,” cibirnya.

“Mommy...” Sina merengek. Meski Sina lahir lebih dulu, dia tidak pernah bisa mengalahkan keusilan Saki. Ada saja tingkah Saki setiap harinya yang membuat Sina menangis. Mikaya tidak tahu dari mana Saki mendapatkan sifat usilnya.

TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang