Malam semuaaaa!!! Asem jarang update karena sibuk yaaa, harap dimaklumi
.
.
.Mikaya tidak mengerti, bagaimana Bara bisa dibebaskan begitu saja bahkan belum genap satu minggu lelaki paruh baya itu diselidiki. Mikaya bergegas ke kantor polisi bersama kuasa hukumnya dan Nia. Pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan dan dugaan. Mikaya menduga, jika bebasnya Bara ada hubungannya dengan Jeffriyan. Hal ini diperkuat oleh kegigihan Jeffriyan selama beberapa hari belakangan ini untuk membebaskan Bara. Mikayapun tahu, Jeffriyan memiliki banyak koneksi dan kemampuan membebaskan Bara dari jerat hukum. Tak sedikit teman Jeffriyan yang berasal dari kalangan kepolisian, hakim, maupun jaksa.
Tibanya Mikaya di kantor polisi, bersamaan dengan Jeffriyan yang juga baru datang. Mereka berpapasan, Mikaya melemparkan tatapan tajamnya pada Jeffriyan. Sebelum Mikaya sempat bertanya pada Jeffriyan, mereka melihat Bara berada di kursi roda yang di dorong oleh Medina. “Minggir,” ujar Medina, merasa Mikaya, Jeffriyan, Nia, dan kuasa hukum Mikaya menghalangi jalannya.
“Lo mau ke mana?” tanya Mikaya.
Medina mendecih. “Harusnya lo udah tau, bokap gue gak salah apa-apa. Jadi hari ini bokap gue bebas.”
“Om, Om kenapa bisa gini? Om yang buat pengakuan sendiri ke polisi kalau Om yang nabrak!” bentak Mikaya pada Bara.
Bara hanya diam, ditatapnya Mikaya sendu.
“Kaki Om jadi bukti kalau Om yang nabrak kedua orang tua aku malam itu,” kata Mikaya lagi.
“Sekali lagi gue bilang, pelakunya bukan bokap gue, Mikaya! Mending lo minggir sekarang sebelum gue buat laporan ke polisi kalau lo udah mencemarkan nama baik bokap gue dan mengganggu kehidupan keluarga gue,” ancam Medina.
“Gila kamu! Bapak kamu yang bikin orang tua Mikaya meninggal dan sekarang kamu mengancam Mikaya?” tanya Nia tak habis pikir. Dia lantas mengalihkan perhatiannya pada sang putra yang sejak tadi diam. “Ini perempuan yang kamu pilih Jeff? Yang kamu bela-belain sampai rela ngebebasin seorang penjahat yang udah bunuh dua orang sekaligus? Mama bener-bener kecewa sama kamu. Di mana hati kamu? Di mana belas kasihan kamu? Di mana rasa kemanusiaan kamu?!” Nia memborbardir Jeffriyan dengan pertanyaan. Sama seperti Mikaya, Nia meyakini jika Jeffriyanlah yang membantu Medina membebaskan Bara.
Dalam suasana yang menegang, Mikaya tiba-tiba saja berlutut di hadapan Bara. Kedua telapak tangannya Mikaya rapatkan sebagai bentuk permohonan. “Om Bara, saya udah maafin Om. Tapi tolong, jalur hukum tetap berlanjut. Saya udah janji sama kedua orang tua saya, kalau saya bakal menangkap orang yang udah nabrak mereka. Saya mau kedua orang tua saya hidup tenang di atas sana. Tolong jangan kabur dengan cara ini Om, saya mohon,” pinta Mikaya, air matanya menetes. Dia tak perduli akan pandangan orang lain yang mungkin menganggapnya bodoh sebab memohon-mohon pada seorang narapidana. Mikaya hanya ingin keadilan untuk kedua orang tuanya yang telah pergi mendahuluinya.
“Nak...” lirih Bara.
“Minggir Mikaya!” bentak Medina.
Mikaya tak menggubris. Meski Nia menyuruhnya bangun, Mikaya tetap berlutut sampai Bara mengiyakan.
Kesal, Medina akhirnya mendorong tubuh Mikaya sampai wanita hamil itu jatuh terduduk. “Medina!” pekik Nia dan Jeffriyan bersamaan. Jeffriyan gegas berjongkok, membantu Mikaya berdiri. “Kamu gak apa-apa? Perutnya sakit?” tanya Jeffriyan khawatir.
Mikaya menyingkirkan tangan Jeffriyan yang semula memegang pundaknya. “Ini semua gara-gara lo!” kata Mikaya. “Gara-gara lo Jeffriyan, orang yang udah ngebunuh kedua orang tua gue gak bisa dihukum! Puas lo bisa buat gue bener-bener menderita?! Puas bisa bebasin Om Bara?!” Mikaya memukul dada Jeffriyan bertubi-tubi, meluapkan emosinya yang menggebu. Tangis keras Mikaya menoreh luka di hati Nia dan satu insan lain yang baru menyadarinya.
Jeffriyan.
Untuk sebuah alasan, dia tidak terima melihat air mata Mikaya turun.
“Mikaya,” panggil Jeffriyan pelan. Dia tidak mencoba menghentikan Mikaya yang memukul dadanya berulang kali. Jeffriyan biarkan wanita itu.
Pukulan Mikaya semakin melemah. “Lo bohongin gue beratus-ratus kalipun gue gak masalah Mas. Tapi kalau udah menyangkut orang tua, gue gak bisa tinggal diam. Tolong jangan kayak gini, biarin Om Bara bayar apa yang udah diperbuatnya.”
“Bu Mikaya, Ibu gak perlu berlutut seperti ini. Kita bisa ajukan pemeriksaan ulang,” ujar kuasa hukum Mikaya.
Mikaya menggeleng. “Gak akan bisa. Bapak liat sendiri 'kan gimana mereka bisa ngebebasin Om Bara gitu aja? Gak masalah buat saya untuk berlutut, bahkan memohon jutaan kali supaya penyelidikan ini tetap berlanjut.”
“Bukan aku Kay,” kata Jeffriyan. Dia menatap Mikaya tepat di bola mata mantan istrinya. “Bukan aku yang bebasin Om Bara.”
Mikaya terdiam. Tak mau langsung percaya.
“Din, siapa yang bebasin Om Bara?” tanya Jeffriyan pada Medina.
“Bukan urusan kamu,” balas Medina. Dia akan mendorong kursi roda Bara lagi, tapi Jeffriyan menahan kursinya. “Lepas gak Jeff?”
“Aku gak akan ngebiarin kamu pergi sebelum kamu menjelaskan semuanya. Siapa yang bisa bebasin Om Bara dalam waktu sesingkat ini?”
Medina menarik napasnya dan membuangnya kasar. “Siapapun itu yang jelas bukan kamu. Dia orang yang bener-bener perhatian ke orang tua aku, gak kayak kamu yang cuma ngomong doang bakal bebasin Ayahku tapi kenyataannya kamu gak bisa.”
“Bukannya aku gak bisa!” balas Jeffriyan. “Tapi kesalahan Om Bara itu bener-bener fatal. Asal kamu tau, aku sengaja ngulur waktu ngebebasin Ayah kamu itu supaya kamu sadar kalau gak semua kesalahan bisa di maafkan sama uang dan selesai gitu aja!”
“Jadi ini sifat kamu yang sebenarnya Jeff?” tanya Medina. “Kamu gak mau liat aku dan keluargaku bahagia?”
“Astaga Medina!” Jeffriyan mengacak rambutnya frustasi. “Om Bara salah, jelas dia harus dihukum.”
“Hukum cuma buat orang yang lemah Jeff.” Semua orang sontak menoleh pada sumber suara. Mereka melihat sosok Jey yang berjalan mendekat dan mengambil tempat di samping Medina. “Kita pulang Din?” tanya Jey.
“Kenapa lo di sini?” tanya Jeffriyan bingung.
“Kamu masih belum paham juga? Orang tulus yang aku maksud itu Jey. Denger ya Jeff, mulai sekarang hubungan kita berakhir. Aku gak mau menikah dan punya suami yang gak sayang keluarga kayak kamu. Kriteria laki-laki impian aku ada sama Jey,” tutur Medina.
“Din?” Jeffriyan tak percaya apa yang di dengarnya.
Jey tersenyum meremehkan. “Sorry Jeff, harusnya lo bergerak lebih cepat.”
“Brengsek!” Jeffriyan melayangkan tinjunya ke wajah Jey tanpa perduli keberadaan mereka yang masih di kantor polisi. “Sahabat macam apa lo yang nusuk sahabatnya sendiri dari belakang?!” Jeffriyan kembali meninju Jey, petugas kepolisian bergerak cepat menahan tubuh keduanya.
“Lo terlalu lemah Jeff,” ejek Jey. “Makanya jangan sok-sokan jadi playboy, cewek lo gue rebut tau rasa 'kan?”
“Bajingan!” Jeffriyan meronta, dia berhasil meloloskan tubuhnya dari pegangan polisi dan memukul Jey lagi. Tapi kali ini Jey melawan.
Kepala Mikaya pening melihat kekacauan di depannya. Pandangannya kabur, detik selanjutnya kegelapan menyergapnya.
Mikaya pingsan. Tubuhnya limbung ke lantai.
“Jeff berhenti! Mikaya pingsan!” Nia panik.
Jeffriyan sontak berhenti. Perhatiannya teralihkan pada Mikaya, tepatnya ke arah kaki wanita itu. “Berdarah, Mikaya berdarah Ma...”
Hayo gantung!
KAMU SEDANG MEMBACA
TARUHAN
Fanfiction[17+]Bagi Mikaya, Jeffriyan adalah kesalahannya. Dan bagi Jeffriyan, Mikaya hanya sebatas wanita taruhannya.