48. Kegagalan

7.9K 734 99
                                    

Selamat membacaaaaa!!
.
.
.

Enam tahun waktu yang cukup untuk Mikaya di kenal orang-orang desa. Para warga desa itu kini ramai berkumpul di depan rumah Ratih, mengiring kepergian Mikaya dan anak-anaknya. Tak sedikit juga dari warga yang memberikan perbekalan pada Mikaya, seperti buah-buahan yang mereka tanam sendiri. Mikaya terharu dibuatnya, dia yang awalnya bukan siapa-siapa di desa ini, setelah menjadi akrab bak keluarga, harus pergi lagi. Tangis tidak bisa Mikaya hindari ketika Ratih memeluk tubuhnya. “Ibu, makasih ya,” ucap Mikaya di tengah isakannya. Mikaya tahu ucapan terima kasih tak cukup dia berikan pada Ratih, orang yang selama enam tahun belakangan ini selalu menemani Mikaya. Ratih juga yang membantu Mikaya bangkit perlahan-lahan, membantu Mikaya mengurus Sina dan Saki saat Mikaya sakit, dan yang paling penting Ratih menyayangi Mikaya bak putri sendiri.

“Jangan lupain Ibu ya Kay,” pesan Ratih.

“Enggak akan pernah.” Mikaya mengurai pelukannya. “Mikaya janji, Mikaya bakal ngabarin Ibu setiap hari. Ibu di sini jangan lupa makan, jangan kecapean urus kebun sendiri, padahal Ibu punya banyak pegawai.”

“Iya iya, Ibu bakal inget. Oh iya, nanti sampai Jakarta, Ibu titip salam buat Mas. Bilang, Ibu kangen sama dia.”

“Siap Bu. Sina, Saki, ayo pamitan sama Eyang.”

Karena keberangkatan Mikaya dilakukan sore hari, dia sampai di bandara Soekarno Hatta saat malam hari.

“Papa!”

Sina dan Saki berlarian kala melihat Gema yang sedang menunggu kedatangan mereka di dekat pintu keluar bandara. Senyum Gema terulas, dia menangkap tubuh Sina dan Saki sekaligus, menghujani mereka dengan kecupan ringan di pipi. Sina dan Saki tertawa geli karena ulah Gema. “Papa kangen kalian banget,” kata Gema.

“Sina juga kangen Papa. Tapi kata Mommy mulai hari ini Sina bakal sering ketemu Papa,” tutur Sina.

“Mommy bener. Tapi di mana Mommy? Kok Papa gak liat?” Gema celingukan, mencari keberadaan Mikaya.

“Tuh!” Saki menunjuk ke arah Mikaya yang menarik dua koper berukuran besar di tangan kanan dan kirinya. Gema bergegas menurunkan si kembar, kemudian mengambil alih koper-koper yang dibawa Mikaya.

Mikaya tersenyum. “Makasih Mas,” ucapnya.

Gema membalas senyuman itu. “Sama-sama. Kita langsung ke mobil aja ya, udah malam, kalian pasti capek.”

Dalam perjalanan pulang, si kembar nampak antusias melihat pemandangan kota yang mereka lewati dari jendela mobil. Lampu-lampu yang berwarna-warni, bangunan-bangunan tinggi, mobil-mobil besar, menarik perhatian Sina dan Saki. Mereka jarang melihat hal seperti ini sebelumnya. Keduanya lebih banyak menghabiskan waktu di desa dibanding kota. Sekalipun Mikaya mengajak anak-anaknya keluar dari desa, Mikaya tidak akan pergi jauh, masih disekitar Malang. Ini perjalanan paling jauh yang pernah Sina dan Saki lakukan. “Mommy! Mobil yang putih itu bagus. Nanti kalau Saki punya uang, Saki beliin Mommy mobil itu ya. Biar Mommy gak capek jalan kaki,” celoteh Saki. Tidak tahu sang mama sudah memiliki mobil, bahkan tak hanya satu.

Mikaya hanya tersenyum menanggapi ucapan putranya.

“Kan Papa udah punya mobil, ngapain Saki beliin Mommy?” tanya Gema dari kursi kemudi.

“Biar Papa sama Mommy gak rebutan kayak Saki sama Sina,” sahut Saki.

Gema tertawa. “Saki Saki, ada aja jawaban kamu.”

“Papa.” Sina memanggil.

“Iya sayang?”

“Nanti aku mau bobo sama Papa, boleh gak?” tanya Sina.

“Boleh, nanti Papa temenin Sina bobo ya.”

“Asik!” Sina gembira bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Gema. Kegembiraan yang terus meluap itu nyatanya membuat Sina dan Saki kelelahan, mereka kini tertidur di kursi belakang dengan kepala saling bersandar.

“Mereka lucu ya Kay,” ujar Gema, memecah keheningan yang sempat mendera.

Mikaya yang semula diam memandangi jalanan, menoleh ke arah Gema. “Iya,” sahutnya singkat, lantas memalingkan wajahnya lagi.

Gema merasa aneh dengan sikap Mikaya, semenjak di bandara tadi, Mikaya tidak banyak berbicara. Dia hanya tersenyum, mengatakan ya atau tidak, itupun harus Gema yang bertanya lebih dulu, sangat berbeda dengan Mikaya yang Gema kenal. “Anak-anak pas di pesawat gimana?” tanya Gema, mencari topik pembicaraan. “Mereka takut atau seneng?”

“Seneng.” Lagi-lagi jawaban yang singkat. Padahal bisa saja Mikaya menjawabnya dalam satu kalimat.

“Itu aja?”

Mikaya akhirnya melihat Gema kembali. “Aku sempet khawatir karena ini pertama kalinya buat mereka naik pesawat. Tapi ternyata mereka happy happy aja.”

“Nah! Gitu dong jawabnya,” kata Gema. “Dari tadi ngomongnya singkat mulu, lagi sariawan ya kamu?”

Mikaya menghela napasnya. “Banyak pikiran Mas.”

Gema terdiam sejenak, kemudian diraihnya tangan kanan Mikaya untuk Gema genggam dengan tangan kirinya. Laju mobil menjadi lebih pelan. “Aku tau ini gak mudah, tapi aku yakin kamu bisa melewatinya, apalagi ini untuk kebaikan anak-anak.”

“Kamu bener, aku ngelakuin ini semua demi anak-anak. Tapi aku masih punya banyak ketakutan Mas, terutama soal Jeffriyan.”

“Kamu dan Jeffriyan udah lama selesai, kamu membuang dia. Sekarang kamu hanya perlu fokus dengan masa kini, masa depan, Sina dan Saki. Anggap Jeffriyan sebagai hasil yang gagal.”

Kurang lebih dua jam perjalanan, mobil Gema akhirnya sampai di halaman rumah Mikaya. “Kay, tolong buka pintu rumah, biar aku yang bawa anak-anak ke kamar.” Mikaya membukakan pintu, Gema menggendong Sina dan Saki yang terlelap secara bersamaan dan membawa mereka masuk ke dalam kamar. Sementara langkah Mikaya terhenti di depan pintu. Mikaya mengedarkan pandangannya, melihat kondisi sekitar. Enam tahun yang lalu, dia memilih pergi meninggalkan rumah ini beserta isinya. Meski begitu, tidak banyak yang berubah dari rumah ini. Rumah Mikaya tetap terjaga dan asri sebab si pemilik menyuruh orang agar dua minggu sekali dibersihkan. Hanya saja, Pak Bono yang biasa berjaga di pos satpam dekat gerbang, kini tidak ada lagi, lalu Alya yang biasa menyambut kepulangan Mikayapun sudah berhenti bekerja.

Mikaya merindukan mereka.

Di rumah ini, tidak sedikit kenangan yang Mikaya lalui. Mimpi, cinta, dan harapan mengisi setiap ruang, juga tak lupa sebuah pengkhianatan terjadi di sini. Pengakuan dari seorang lelaki yang di cintainya bahwa menikahinya hanyalah sebuah taruhan, menghancurkan Mikaya.

Air mata Mikaya menetes mengingat semuanya. Gegas dia menghapusnya sebelum seseorang melihatnya.

“Kay.” Gema berjalan mendekat pada Mikaya. “Kenapa gak masuk?”

“Lagi liat-liat sekitar Mas, udah lama banget aku gak pulang ke sini. Kangen.”

Gema tersenyum. “Yaudah kita masuk dulu yuk, kamu juga butuh istirahat.”

Mikaya mengangguk. Tangannya akan menutup pintu jika seseorang tidak memanggil namanya. “Mikaya.” Suara itu, suara yang tidak lagi asing di telinganya, suara berat yang berasal dari seorang lelaki yang Mikaya tinggalkan enam tahun lalu saat lelaki itu kesakitan di lantai rumah sakit.

“Ada Jeffriyan, Kay,” ujar Gema.

Mikaya meraih tangan Gema. “Kita masuk aja Mas, dia hanya kegagalan aku.”







ADOHHHHH MOMMY SAVAGE SEKALI!

JANGAN LUPA KOMENNYA YANG BUANYAK BIAR ASEM SEMANGAT UPDATE!

TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang