34. Pembuktian

6.3K 734 183
                                    

Yok mana yang udah nungguin?!?!
.
.
.

Mikaya kira hari-hari menderitanya telah berakhir begitu Bara menyerahkan diri ke polisi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun perkiraannya salah besar, kini timbul permasalahan baru yang meremukkan kembali hati Mikaya. Jeffriyan, satu-satunya lelaki yang paling Mikaya percaya, yang Mikaya jadikan tempat bersandar, lagi dan lagi mengkhianatinya. Mikaya menolak percaya Jeffriyan lebih memilih membela Medina dibanding dirinya, namun ketika lelaki itu kembali memohon, Mikaya sadar, Jeffriyan sama sekali tidak menganggapnya penting. “Kay, lepasin Ayahnya Medina. Kita selesaikan ini secara kekeluargaan aja,” kata Jeffriyan.

Sakit.

Hati Mikaya terasa sakit sekali, saat suara memohon itu kembali terdengar.

“Jeff, jangan keterlaluan gini. Ayahnya Medina harus tanggung jawab,” sahut Jendra. Benar dia selalu membela adiknya, tapi kali ini Jendra kurang setuju akan pendapat Jeffriyan. Kesalahan Bara terlalu fatal, menewaskan dua orang kemudian bersembunyi selama bertahun-tahun.

“Tanggung jawab apa?! Ayah gue gak bunuh siapa-siapa Mas!” sahut Medina.

“Mbak, Mas, maaf ini kantor polisi, kami juga sedang melakukan interogasi. Jadi tolong kerjasamanya, jika banyak yang ingin dibicarakan, silahkan keluar,” kata salah seorang petugas.

“Saya percayakan semuanya ke Bapak dan pihak kepolisian, kalau ada apa-apa nanti hubungi pengacara saya aja ya Pak, permisi.” Mikaya pamit tanpa memperdulikan permintaan Jeffriyan maupun Medina. Wanita itu bergegas keluar dari kantor polisi, menghentikan taksi yang lewat. Mikaya juga tak perduli dengan mobilnya yang masih tertinggal di kantor polisi. Pikirannya kacau, jangankan untuk menyetir, berjalanpun dia sebetulnya sudah tidak sanggup. Sepanjang perjalanan pulang, Mikaya hanya diam dengan tatapan kosong. Sesekali si supir melihat Mikaya dari kaca spion, sedikit khawatir akan keadaan penumpangnya.

“Mbak gak apa-apa?” tanya si supir.

Mikaya tak menjawab sampai taksi tersebut tiba di depan rumahnya. Tanpa Mikaya tahu, Jeffriyan menggunakan mobilnya sendiri, mengikuti taksi yang Mikaya tumpangi. Saat Mikaya turun dari taksi, Jeffriyan juga turun dari mobilnya, lalu menahan tangan Mikaya. “Lepasin gak?” kata Mikaya. Semakin Mikaya mencoba melepaskan tangan Jeffriyan dari pergelangan tangannya, semakin kuat pula cengkraman lelaki itu. “Lepasin gue!”

“Lepasin dulu Ayahnya Medina,” balas Jeffriyan.

Bak api yang membakar kertas dengan cepat, emosi Mikaya memuncak seketika mendengar perkataan Jeffriyan. Di dorongnya kuat-kuat tubuh Jeffriyan oleh Mikaya hingga cengkraman itu terlepas. “Pak Bono, tutup pintu gerbangnya,” titah Mikaya pada satpam rumahnya.

“Kay enggak Kay!” Jeffriyan berteriak. Dia berusaha melewati tubuh Pak Bono yang menjaga gerbang. “Kay kamu gak bisa gini! Medina butuh orang tuanya!”

Mikaya yang hampir masuk ke dalam rumahnya, berhenti melangkahkan kaki. “Buka pintunya Pak,” titah Mikaya tanpa membalik tubuhnya.

“Tapi Mbak—”

“Buka,” sela Mikaya. Dia akhirnya berbalik, melihat Jeffriyan yang berjalan tergesa ke arahnya begitu pintu gerbang dibukakan. Belum sampai lima detik Jeffriyan berdiri di hadapan Mikaya, tamparan keras Jeffriyan dapatkan dari mantan istrinya. Napas Mikaya memburu, tatapannya hanya menajam pada satu sosok di depannya. “Lo pikir cuma Medina yang butuh orang tuanya?” tanya Mikaya. Air matanya mulai berjatuhan.

Jeffriyan mengusap pipinya yang terasa perih.

“Jawab gue! Lo pikir gue gak butuh orang tua hah?!” Suara Mikaya meninggi. “Lo tau gimana gue selama ini Mas! Gue tersiksa karena kematian orang tua gue, gue pernah gila gara-gara itu, gue sampai harus minum obat tidur selama bertahun-tahun karena kecelakaan yang disebabkan sama Ayahnya Medina. Dan sekarang dengan mudahnya lo nyuruh gue buat lepasin Ayahnya Medina gitu aja?”

“Tapi Om Bara sakit, kamu tega ngebiarin dia kesakitan di penjara?” tanya Jeffriyan.

“Harusnya pertanyaan ini lo ajuin ke Om Bara. Kenapa dia tega bikin orang tua gue meninggal.”

“Om Bara pasti gak sengaja Kay. Percaya sama aku, kita bisa selesaikan masalah ini secara baik-baik. Kamu maafin Om Bara, dan aku bakal ganti rugi untuk apa yang Om Bara perbuat.”

“Ganti rugi?” tanya Mikaya memastikan.

Jeffriyan mengangguk. “Semua harta aku, bakal aku kasih ke kamu, asal kamu mau maafin Om Bara.”

Mikaya mendecih. “Segitu perdulinya lo sama Medina?” tanya Mikaya. “Lo gak putus hubungan 'kan sama dia? Lo cuma bohongin gue 'kan?”

“Aku bisa jelas—”

“Gak perlu dijelasin! Semuanya udah jelas! Lo cuma mempermainkan gue, lo gak bener-bener cinta sama gue Mas. Lo brengsek!”

“Lo sendiri gimana hah?! Lo juga mempermainkan gue!” bentak Jeffriyan. Dia mendekat pada Mikaya, mengintimidasi wanita itu. “Lo pura-pura cinta sama gue padahal lo main di belakang sama Jendra. Lo ngabisin waktu berdua sama Jendra setiap kali gue jauh dari lo. Jadi apa salah kalau gue dan Medina juga menjalin hubungan? Gak salah. Karena pada kenyataannya kita berdua gak saling cinta, kita deket karena sama-sama butuh pemuas napsu.”

Tubuh Mikaya seakan kehilangan tenaga. Jeffriyan menghantamnya berulang kali tanpa menyentuh. Setiap kata yang keluar dari mulut Jeffriyan, membuat Mikaya kesulitan bernapas. Satu persatu harapan Mikaya pada Jeffriyan luntur. Jeffriyan tidak berubah meski Mikaya telah memberikannya kesempatan kedua. Dan detik itu pula Mikaya menyadari bahwa Jeffriyan tetap Jeffriyan, kesalahan terbesarnya. “Pemuas napsu lo bilang...?”

“Apalagi? Jangan lo pikir gue deketin lo itu karena punya perasaan lebih, gue sama sekali gak punya perasaan apa-apa buat lo. Semua ucapan gue yang sebelumnya bilang cinta ke lo itu cuma bohong belaka,” kata Jeffriyan angkuh.

Air mata Mikaya tak bisa berhenti turun. Dia berusaha kuat, tapi tidak bisa. Sampai tubuhnya nyaris limbung apabila Jeffriyan tidak segera menahan pinggangnya. Mikaya menepis tangan Jeffriyan, tak suka ketika tangan itu menyentuhnya setelah tahu fakta mengenai Jeffriyan yang hanya menganggapnya sebagai pemuas napsu. “Mas?” Mikaya mendongak, mata sendunya menatap Jeffriyan. “Apa gue pernah nyakitin perasaan lo? Apa pernah gue bikin lo terluka? Sejauh apa yang gue inget, gue selalu bersikap hati-hati sama lo. Tapi kenapa? Kenapa lo tega nyakitin gue gini? Kenapa lo tega bohongin gue berulang kali? Dan kenapa lo tega nuduh perasaan tulus gue sebatas pemuas napsu?”

Mikaya memukul dadanya sendiri. Dia kesulitan bernapas. “Harusnya, kalau gue salah, lo jangan hukum gue kayak gini Mas. Lo bilang aja ke gue di mana letak kesalahan gue, pasti gue bakal minta maaf. Tapi lo lebih milih mempermainkan perasaan gue.” Mikaya menunduk. Tangannya beralih memeluk perutnya sendiri. “Lo jahat, jahat banget Mas.”

Aneh, saat Mikaya menyebutnya jahat, Jeffriyan mendadak merasa bersalah.

Mikaya kembali melihat Jeffriyan. “Sekali lagi lo membuktikan ke gue, kalau lo cuma kesalahan terbesar gue, Mas Jeffriyan.”

“Kay...”








JANGAN LUPA KOMENNYA!!

MAS JAMAL GANTENG BTUL,

MAS JAMAL GANTENG BTUL,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang