22. Ilsan(2)

88 28 4
                                    

Selamat membaca
.
.
.
.
.

"Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun Seokjin, Selamat ulang tahun."

"Wahhh ... Kakak tertua kita sudah berkepala dua!"

"Selamat ulang tahun, Seokjin Hyung!"

"Selamat ulang tahun yang ke-20."

"Jangan lupa mentraktir kita bulgogi, ya, Hyung."

"Sayang sekali kita masih memiliki banyak adik-adik yang di bawah umur, jadi aku tak bisa mentraktir kau soju juga," ujar Seokjin pada Yoongi.

"Eittt! Soju harus tetap ada, ya. Oh, ayolah ... kita bisa beri mereka jus, soju itu wajib di setiap perayaan," sanggah Yoongi dengan raut wajah sedikit kesal yang dibuat-buat.

"Oke, ide yang bagus, Yoon. Kita berdua memang harus minum soju hari ini."

"Ekstra bulgogi untuk kita para adik-adik, ya, Jin Hyung." Jungkook menyahuti. Sesekali pemuda itu menjilat cream cokelat yang belepotan di tangannya daei kue yang sedang ia potong.

"Kapan kau akan pulang ke Ilsan?"

"Entahlah ... jadwal kita sangat padat. Kupikir tidak perlu."

Ruangan dorm itu sangat ramai kendati hanya berisikan tujuh orang saja, saling melempar tawa dan juga kebahagiaan, tanggal 4 Desember bertepatan dengan hari lahir member tertua Bangtan, Kim Seokjin, usianya kini genap dua puluh tahun.

🍁🍁🍁

Sedangkan di belahan bumi lain, masih ada seorang gadis yang setia menggenggam erat tali tas selempang murah berwarna hitam yang menggantung di salah satu bahunya. Matanya bergulir resah, tubuhnya gemetaran bukan karena hawa dingin yang timbul karena salju turun, tapi karena gugup yang melanda. Tidak ada yang tahu, saat ini rongga kepalanya tengah dipenuhi banyak praduga negatif yang bercampur aduk, hingga rasanya ingin meledak.

"Katakan jumlah uang yang kau butuhkan, Nona Park, aku akan memberikannya secara cash."

Tunggu, uang?

Sunhee bergelut dengan pikirannya sendiri. Padahal, baru saja beberapa menit yang lalu ia berpikir keras tentang bagaimana bisa nenek dari anak yang dikandungnya mengetahui fakta kehamilannya padahal ia belum berucap satu kata pun.

"Tunggu, Nyonya .... Se—sebenarnya saya tidak mengerti apa yang anda maksud," celetuk Sunhee polos.

Wanita empat puluh dua tahun itu melipat tangannya di bawah dada. Lantas menyenderkan punggungnya pada single sofa yang sedari tadi ia duduki sembari menyeringai.

"Bibi Hwan, simpan ini semua ke gudang belakang, dan bawakan itu kemari!"

Tak lama setelah membawa semua bukti yang diberikan Sunhee entah kemana, pelayan itu kembali seraya menenteng sebuah paperbag warna putih bertuliskan Dior dan menyodorkannya pada Sunhee secara kasar.

Sunhee membuka paperbag yang diterimanya itu dengan perlahan. Sedetik kemudian matanya melotot ketika mengetahui isinya. Sungguh, setelah sekian lama berpisag dengan sang ayah, baru kali ini ia kembali melihat tumpukan lembar won pecahan seratus ribu secara langsung. Namun, baru saja Sunhee akan membuka suara, Nyonya Kim mendahuluinya.

"Kau tahu gadis berambut hitam sebahu yang baru saja melewatimu di depan gerbang?"

Sunhee masih bergeming di tempat tanpa berniat menjawab.

"Dia gadis ke delapan yang datang ke sini dengan tujuan yang sama denganmu. Mereka mengedit beberapa foto halus dan sangat nyata untuk mengelabuhi diriku agar percaya bahwa dia memanglah kekasih Seokjin. Mereka mempersiapkan akting dengan baik sebagai korban napsu Seokjin untuk menemuiku setelah melihat kesuksesan Seokjin sebagai idol semakin menjanjikan." Nyonya Kim mengambil napas sebentar, memijat keningnya dengan ujung jari telunjuk dan ibu jari untuk meminimalisir rasa pening yang mulai mendominasi.

HiBye Mr. Kim [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang