Ini kedatangan Brad yang kedua kalinya ke Jakarta. Tetapi ia tetap saja merasa sedikit kebingungan berada di bandara Soekarno-Hatta. Karena itu sejak kemarin ia sudah mengingatkan Dara untuk menjemputnya.
Pesawat yang ditumpanginya mendarat di bandara ini tepat pukul empat sore. Ia tahu, ini masih jam kantor. Brad rela menunggu di bandara sampai Dara datang menjemputnya.
Barang bawaannya tidak banyak. Hanya sebuah koper kecil beroda. Setelah mengambil barangnya itu, Brad keluar mencari kafe di dalam bandara yang bisa ia singgahi untuk menunggu Dara. Bard menarik kopernya menuju ke salah satu kafe yang menarik perhatiannya.
Setelah ia duduk di salah satu kursi, ponselnya berdering. Panggilan dari Dara.
“Hello," sapa Brad, ia senang sekali mendengar suara Dara lagi.
"Brad, kamu sudah sampai di bandara Soekarno-Hatta?" tanya Dara.
"Ya, aku sudah sampai. Dan sekarang aku menunggumu di sebuah kafe. Kopinya lumayan enak," jawab Brad.
"Tunggu aku, Brad. Sekitar jam tujuh aku sudah sampai di sana," ucap Dara lagi.
Brad tertegun. Pukul tujuh? Ia masih harus menunggu dua jam lagi. Rasanya ia sudah tak sabar ingin bertemu Dara.
Terhitung sudah empat bulan ia tidak bertemu Dara sejak mereka berpisah di bandara John F Kennedy. Padahal ia pernah mengancam Dara, jika dalam tiga bulan Dara tidak berkunjung ke New York, Brad akan menyusul Dara ke Jakarta.
Nyatanya, baru empat bulan kemudian ia bisa datang ke kota tempat Dara tinggal ini.
"Ingat, Brad. Samakan waktu di jam tanganmu dengan waktu Jakarta. Jika nanti sudah jam enam sore, itu adalah saatnya maghrib. Jangan lupa salat ya. Di bandara ada musala kok. Tanya saja pada petugas yang ada di sana di mana letak musala," kata Dara lagi mengingatkan Brad.
Brad hanya meringis. Ia sadar, bukan hal mudah menegakkan komitmen untuk menjalankan ibadah tepat waktu. Terutama saat seperti ini, ia di negeri asing, sendirian, dengan beban sebuah koper berukuran sedang.
Namun jika kemudian ia mengikuti saran Dara untuk mencari musala, sama sekali bukan karena itu adalah saran Dara. Tetapi karena Brad memang sudah bertekad akan menjalankan ibadah sebaik mungkin.
Sepanjang perjalanan nyaris dua puluh jam di dalam pesawat dari New York ke Jakarta saja ia tetap berusaha menjalankan ibadah salat semampunya.
Ia sudah diajarkan bagaimana menjalankan ibadah salat wajib di dalam kendaraan. Mensucikan diri dengan tayamum, dan gerakan salat yang disesuaikan dengan posisi duduk. Maka, setelah ia mendarat, sudah seharusnya ia menjalankan ibadah salat lebih mudah karena di sini tentunya tersedia musala.
Brad melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Ia sudah mencocokkan waktu di jam itu dengan waktu di bandara ini. Sekarang sudah hampir pukul enam sore, segera tiba saatnya salat magrib di bandara ini.
Ia segera meneguk habis kopinya, lalu keluar dari kedai kopi kecil itu sambil menarik kopernya. Ia bertanya kepada salah seorang pegawai bandara, di mana letak musala.
Awalnya Brad khawatir meninggalkan kopernya selama ia salat. Namun ia kembali teringat ucapan Dara. Percayakan semua kepada Allah.
KAMU SEDANG MEMBACA
From America With Love
RomanceDara meninggalkan New York dan meninggalkan Brad Smith, cowok Amerika yang baru mulai dekat dengannya. Setelah lulus kuliah, Dara memilih berbakti dahulu pada orang tuanya. Richard Wenner seorang arsitek yang masih penasaran pada Dara dan berprinsi...