Pukul setengah lima pagi. Tumben sekali Lea sudah bangun. Padahal ia tidak memasang alarm dan semalam ia baru tidur pukul satu malam. Biasanya paling pagi ia bangun pukul enam. Karena seringkali ia tidur terlalu larut.
Yang ia lakukan saat pertama kali setelah kesadarannya pulih adalah tersenyum. Ya, tersenyum. Ia kembali teringat kejadian semalam. Tidak menyangka ia bisa merasa demikian senang, pulang bersama Richard.
Kemudian rasa senang ini menggerakkannya untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaannya. Salat subuh.
Lea segera menuju kamar mandi, membasuh wajah tangan dan kakinya. Ia merasa demikian segar. Lalu mengambil mukena dan sajadah bagus yang jarang dipakainya.
Seusai salat, Lea merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia tak menyangka, bangun sepagi ini begitu menyegarkan. Selama ini jika ia bangun kesiangan, ia buru-buru mandi, bahkan kadang tak sempat sarapan, lalu bergegas berangkat ke kantor.
Sebenarnya mama dan papa Lea cukup rajin beribadah. Tetapi tentunya mereka sudah tidak lagi mengawasi Lea soal menjalankan ibadah salat wajib. Seusai salat, ia keluar kamar menuju dapur.
"Bu Min bikin sarapan apa hari ini?" tanya Lea pada seorang ibu berusia lewat empat puluh lima tahun yang biasa menyiapkan masakan di rumah orangtuanya ini.
Wanita yang disebut Bu Min itu tampak terkejut melihat kehadiran Lea di dapur.
"Wah, Mbak Lea. Tumben sudah bangun," sahut Bu Min yang sedang sibuk meracik nasi goreng.
Wangi masakan itu menebarkan harum yang membangkitkan selera.
"Memangnya aneh ya, kalau aku sudah bangun jam segini?" tanya Lea sambil mencomot seiris kentang goreng tepung yang sudah ditata di dalam sebuah piring oval datar dan siap dipindahkan ke meja makan.
“Bu Min tahu, Mbak Lea biasa tidur lewat tengah malam. Jadi maklum kalau Mbak Lea bangunnya siang, jawab Bu Min.
“Dan Lea baru sadar pagi ini, Bu Min. Ternyata bangun pagi itu enak. Apalagi salat subuh, sesudah wudhu, wajah rasanya jadi segar banget," kata Lea, yang segera disambut ekspresi terpana Bu Min.
Wajah wanita sederhana itu menampakkan senyum bersahaja.
“Alhamdulillah, Mbak Lea merasakan nikmatnya salat subuh. Mudah-mudahan selanjutnya bangun pagi terus ya Mbak Lea. Ini, sarapannya sudah siap," sahut Bu Min.
Lea meletakkan empat piring kosong ke atas meja untuk empat orang anggota keluarga ini. Papa, mama, adik laki-laki Lea dan Lea sendiri.
"Aku mau mandi dulu, Bu Min. Papa, Mama dan Kevin juga belum bersiap sarapan, kan?"
"Masih di kamar masing-masing, Mbak Lea. Iya deh, Mbak Lea mandi dulu saja, supaya semakin segar.”
Lea mengangguk, lalu bergegas menuju kamar mandi. Sengaja ia mandi dengan air yang tidak dihangatkan dahulu. Ia ingin merasakan segarnya air dalam suhu sepagi ini.
Seusai mandi ia juga bisa sarapan dengan tenang sambil sesekali berbincang-bincang dengan papa, mama dan adiknya yang ada jadwal kuliah pagi. Lea tersenyum dalam hati, merasakan keuntungan lainnya bangun lebih pagi dari biasanya.
Kegembiraan Lea berlanjut saat beberapa menit sebelum pukul setengah tujuh pagi ia sudah meluncur di jalanan Jakarta mengendarai sendiri mobil sedannya.
Biasanya, ia berangkat pukul tujuh lewat, dan jalanan Jakarta sudah sesak dipenuhi berbagai kendaraan. Hanya selang empat puluh lima menit sebelumnya, keadaan jalanan Jakarta cukup jauh berbeda. Masih relatif lengang. Hanya ada antrian ramai lancar di beberapa persimpangan. Lea tak perlu menggerutu berkepanjangan mengumpat jalanan yang macet.
"Bangun pagi enak juga ya," gumamnya.
Lagu favoritnya mengalun lembut mengiringi perjalanannya menuju tempat kerjanya.
"Richard," gumam Lea tiba-tiba.
Ia tidak bisa menahan senyum. Aneh, mengapa ia mendadak memikirkan lelaki berambut pirang dan bermata biru itu?
Karena Richardlah yang membuatnya sadar untuk bangun lebih pagi hari ini. Sayangnya, saat ia sudah sampai di ruang kerjanya, ia tidak menemukan Richard duduk di hadapan mejanya. Biasanya, tiap kali Lea sampai di mejanya dengan terburu-buru, Richard sudah duduk di hadapan mejanya lebih dulu.
Aneh, hati kecilnya mendadak merasa kecewa karena tak melihat wajah Richard yang sepanjang perjalanan tadi memenuhi benaknya.
"Ben, Mr. Wenner ke mana? Kok tumben belum datang?" tanya Lea pada rekan kerjanya yang lain yang sedang asyik sarapan di meja kerjanya.
"Tadi sudah datang, Mbak Lea. Tapi pergi lagi," jawab lelaki muda bernama Benny yang bertugas sebagai drafter dan memang lebih muda dari Lea, sehingga ia selalu memanggil Lea dengan tambahan sebutan 'Mbak' sebagai tanda hormat.
"Pergi ke mana?"
“Sepertinya survey lokasi untuk proyek baru di daerah puncak. Tadi dijemput Pak Narendra langsung."
Lea tersentak. Tentunya proyek yang luar biasa sekali jika sampai Pak Narendra sendiri ikut terjun langsung.
Lea menghela napas panjang. Sepertinya seharian ini ia terpaksa tak punya kesempatan memandangi diam-diam sosok Richard Wenner. Dan kenyataan ini entah mengapa menurunkan mood bekerjanya sampai satu level lebih rendah dari sebelumnya.
**=======**
Hai, teman2. Baru sempat lanjut update cerita ini.
Makasih buat yang tetap mau baca :)
Salam,
Arumi
KAMU SEDANG MEMBACA
From America With Love
RomanceDara meninggalkan New York dan meninggalkan Brad Smith, cowok Amerika yang baru mulai dekat dengannya. Setelah lulus kuliah, Dara memilih berbakti dahulu pada orang tuanya. Richard Wenner seorang arsitek yang masih penasaran pada Dara dan berprinsi...