34. Kriteria Suami Idaman Yang Berubah

99 22 5
                                    

Merasa kehilangan. Lagi-lagi inilah yang dirasakan Lea sejak kepergian Richard ke New York lima hari lamanya. Ia tidak sabar menunggu Richard kembali. Ia merindukan saat-saat Richard mengajaknya salat berjamaah, dan selalu mengingatkannya untuk salat tepat waktu.

Minggu pagi ini ia sendirian menghadiri pengajian di Masjid Istiqlal. Richard juga yang menularkan kebiasaan ini, setiap hari minggu pagi menghadiri pengajian di masjid-masjid yang berbeda di Jakarta. Sebelum ia mengenal Richard, Lea tidak pernah tertarik mengikuti pengajian seperti ini. Bahkan ia hampir tidak pernah berkunjung ke masjid ini.

Bersama Richard, akhirnya Lea menjejakkan kakinya di beberapa masjid di Jakarta, seperti Masjid Sunda Kelapa, Masjid Al Azhar, Masjid Bank Indonesia dan Masjid Istiqlal ini.

Awalnya Lea ikut serta hanya karena terpaksa. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Jakarta, ia merasa malu jika tak bisa mengantarkan Richard berkunjung ke masjid-masjid yang diinginkannya. 

Setelah hampir delapan bulan bekerja dan bergaul bersama Richard, Lea mulai terbiasa berkunjung ke masjid-masjid ini sesuai jadwal yang telah dibuat Richard. Bahkan saat ini ia tak keberatan datang sendiri ke sini. Rohaninya mulai membutuhkan diisi seminggu sekali. 

Kunjungannya ke masjid ini bukan lagi karena terpaksa, tetapi karena ia membutuhkannya. Lea mulai merasakan ketenangan tiap kali usai mengaji. Dan rasa tenang itu mulai menjadi candu yang membuatnya ingin selalu merasakannya, setelah selama enam hari ia harus berkutat dengan pekerjaan duniawi. 

Selama beberapa bulan mengikuti pengajian, sedikit demi sedikit telah melembutkan hati Lea. Membuatnya banyak merenung. 

Selepas salat zuhur, pengajian di masjid ini selesai. Lea berniat segera kembali pulang ke rumah untuk beristirahat. Ia baru saja duduk di belakang kemudi mobil sedannya saat ponselnya berdering. 

Ia melihat layar ponsel yang baru saja dinyalakannya itu. Selama ia mengaji tadi, ia mematikan ponselnya. Tertera nama Ray, teman sekampusnya dulu.

"Halo," sapa Lea.

"Lea, elo lagi di mana sih? Ditelpon kok susah banget. Ngapain sih hape lo dimatiin?" sahut Ray beruntun tanpa basa-basi. 

"Gue lagi ada urusan penting tadi. Ada apa?"

"Elo lupa sama janji lo?"

Lea mengernyit.

"Janji apaan?"

"Hari ini mau jalan sama gue dan teman-teman? Ethan datang ke Jakarta, gue udah bilang kan?"

Lea terperangah. Itu janji yang ia ucapkan minggu lalu. Ia sungguh lupa dengan janji itu. Untuk sesaat Lea terdiam. 

Sebenarnya ia sedang malas berkumpul dengan teman-temannya itu. Entah mengapa sudah dua bulan ini Lea mulai merasa tak nyaman tiap kali ia menghabiskan akhir minggu dengan teman-temannya itu. Ia mulai bosan dengan pembicaraan mereka yang kebanyakan hanya membicarakan orang lain.

Ia sudah mulai malas merokok dan menyesap minuman beralkohol. Lea mulai merasakan perubahan minatnya dalam bergaul. Ia sudah enggan menghabiskan waktu di kelab malam atau tempat karaoke yang ingar bingar.

"Lea? Elo ngapain sih? Pingsan ya?"

Terguran Ray melalui ponsel menyadarkan Lea dari lamunan sekejapnya.

From America With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang