Kehilangan Richard. Perasaan itu terasa saat Lea melakukan tugasnya sendirian di Jakarta, sedangkan Richard ditugaskan ke Surabaya selama tiga hari. Biasanya, segala hal berlangsung dengan lancar bila ada Richard.
Pemuda itu memang cerdas, selain penampilannya yang berbeda, membuatnya disegani oleh siapa saja yang berhadapan dengannya. Seolah semua ingin membuatnya senang. Semua ucapannya dipercaya.
Lea yakin salah satu penyebabnya karena sosoknya yang asing, rambut pirang, mata biru, tubuh setinggi seratus delapan puluh lima sentimeter. Warga Indonesia umumnya mudah terkesima dengan sesuatu yang asing apalagi dalam kemasan sosok semenawan Richard.
Namun Lea juga menyadari, Richard memang memesona bukan hanya karena penampilan fisiknya, tetapi juga caranya bertutur kata dan sikapnya yang selalu menghargai orang lain.
Kini Lea harus berjuang sendiri, bahkan untuk hal yang biasanya akan mudah sekali terwujud jika ada Richard yang bertugas bersamanya. Seperti misalnya, meminta izin untuk salat saat sebuah rapat sedang berlangsung.
Lea mulai merasakan perubahan pada dirinya. Kini ia terbiasa salat, bukan lagi karena diajak salat oleh Richard. Apakah ini soal kebiasaan? Ia bisa karena terbiasa?
Rasanya bukan karena itu. Lea mulai memahami hakikat salat. Menenangkan hati sekaligus sebagai sarana untuk rehat sejenak dari rutinitas dunia.
Bagi orang yang tidak paham, mungkin kegiatan salat yang menginterupsi pekerjaan dianggap memanfaatkan waktu efektif dalam bekerja, padahal setelah dirasakan sendiri oleh Lea, konsentrasi dan fokusnya dalam mengerjakan tugas seolah terbarukan setelah jeda hanya sepuluh menit untuk salat asar. Sama sekali tidak menyita jam bekerja.
Lea dapat menyimpulkan, kini ia membutuhkan salat. Karena itulah saat ini ia merasa resah, ketika waktu salat magrib hampir habis karena pertemuan klien, konsultan dan kontraktor ini belum juga usai sejak sesudah asar.
Lea melirik diam-diam peserta pertemuan di ruang ini satu persatu. Seluruhnya ada lima belas orang. Setahu Lea, ada enam orang yang muslim selain dirinya.
Tetapi mengapa di antara tidak ada yang terlihat ingin beranjak dan permisi keluar dulu untuk menunaikan salat magrib? Kenapa tidak ada yang mengingatkan Pak Gerard untuk rehat sejenak memberi waktu bagi yang beragama Islam untuk salat? Mengapa tidak ada yang segelisah dia?
Lea kembali resah. Hatinya seolah rindu ingin segera bersujud. Waktu hampir menjelang isya. Aneh, bahkan dia sendiri mengakui keanehan perasaannya. Dahulu, ia tak pernah merasa resah seperti ini. Waktu salat terlewati begitu saja tidak membuatnya merasa bersalah.
Tetapi sekarang, ia merasa berbeda. Jarum jam yang terus berdetik seolah membuat keresahannya semakin meningkat.
"Maaf, Pak Gerard. Saya boleh permisi sebentar?" ucap Lea sembari mengangkat tangannya menghentikan Pak Gerard yang sedang menyampaikan presentasinya di depan ruangan.
Semua mata seketika mengarah pada Lea dengan beragam ekspresi. Ekspresi kesal di wajah Pak Gerard, ekspresi menahan marah di wajah Pak Julian, wakil dari kontraktor, ekpresi licik di wajah Mahesa dari bagian marketing.
"Anda telah mengganggu presentasi saya. Silakan keluar dan jangan kembali lagi," sahut Pak Gerard.
Lea sedikit pun tidak terlihat gentar mendengar ucapan Pak Gerard.
"Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu, tapi saya harus benar-benar permisi karena sudah jam setengah tujuh. Saya harus menjalankan ibadah salat magrib dulu, jika Bapak tidak keberatan. Tetapi jika Bapak memang sudah tidak membutuhkan kehadiran saya dalam rapat ini, saya sekalian permisi," ucap Lea.
Ia membereskan barang-barang bawaannya. Sketsa-sketsa desainnya dan semua bahan presentasinya, lalu segera keluar dari ruang meeting itu dengan langkah mantap diiringi semua mata yang hadir.
KAMU SEDANG MEMBACA
From America With Love
RomanceDara meninggalkan New York dan meninggalkan Brad Smith, cowok Amerika yang baru mulai dekat dengannya. Setelah lulus kuliah, Dara memilih berbakti dahulu pada orang tuanya. Richard Wenner seorang arsitek yang masih penasaran pada Dara dan berprinsi...