22. Kisah Lea dan Richard

114 21 0
                                    

Salah satu hal yang disukai Richard selama beberapa bulan ia tinggal di Jakarta, gedung kantor tempatnya bekerja menyediakan musala yang cukup memadai. Bahkan di lantai 11 dan 12 yang ditempati oleh Narendra Consultant Design, disediakan musala kecil yang cukup untuk lima belas orang salat berjamaah. 

Richard juga senang karena banyak teman satu kantornya yang muslim, sehingga ia bisa selalu salat berjamaah. Kondisi yang jauh berbeda dengan di kantornya dulu saat di New York.  Hanya ia satu-satunya yang beragama Islam, sehingga ia selalu salat sendirian di bagian sisa ruang mesin fotocopy.

Tapi anehnya, Richard memperhatikan, sepertinya rekan kerja yang mejanya bersebelahan dengannya, Lea, jarang sekali mengunjungi musala. Padahal setahunya Lea adalah seorang muslim. Setidak-tidaknya, begitulah pengakuan Lea. 

Seperti saat ini, jarum jam hampir menyentuh angka tiga sore. Sebentar lagi waktu zuhur berakhir, dan akan masuk waktu salat ashar. Tetapi Lea belum juga beranjak dari duduknya. Gadis itu tampak asyik menghadapi layar laptopnya, menyusun desain detail arsitektur proyek baru yang sedang ditanganinya.

“Ah iya, dia kan perempuan. Mungkin saat ini ia sedang berhalangan tidak salat, batin Richard memikirkan kemungkinan itu. 

Tetapi kemudian ia ingat lagi.

Tapi sepertinya selama ini aku nggak pernah melihat dia ke musala. Padahal seingatku dia mengaku beragama Islam, batin Richard lagi.

Ia melirik diam-diam ke arah Lea, lalu memutuskan akan menanyakan tentang ini pada Lea.

"Miss Lea, sudah salat zuhur?" tanya Richard.

Lea yang sedang asyik mengutak-atik rancangan layout sebuah mal dengan program autocad di layar laptopnya sempat tercengang sejenak mendengar pertanyaan Richard. 

Ia membeku sesaat karena tak tahu harus menjawab apa. Selama ini salat bukanlah prioritas utamanya, walau ia terlahir dari keluarga muslim. Terutama sejak ia kuliah di Sydney dan terbiasa mengabaikan ibadah salat selama di sana. 

Lea hanya salat jika sedang ingin. Dan ia jarang sekali punya keinginan melakukan ibadah itu. Tenggelam dalam kesibukan membuatnya lupa melaksanakan ibadah yang sebenarnya diwajibkan untuk umat Islam.

“Aku ... Oh, aku hampir lupa karena keasyikan mengerjakan tugasku," jawab Lea hampir satu menit kemudian.

“Cepatlah. Mumpung masih ada waktu. Sebentar lagi masuk waktu asar," saran Richard.

Lea menelan ludah. Sesungguhnya ia enggan bangkit dari duduknya, namun ia merasa tidak enak terpergok begini oleh Richard. Ia segera menyimpan hasil kerjanya, lalu bangkit berdiri.

“Ah, iya. Baiklah. Terima kasih sudah dingatkan, Mr. Wenner," jawab Lea seraya berjalan meninggalkan meja kerjanya menuju ruang salat yang tersedia di lantai sebelas ini. 

Ruang salat itu cukup lapang, dan sejak setahun lalu telah direnovasi dengan interior yang lebih bagus dan rapih. Sehingga menjadi tempat yang sangat layak untuk salat dengan khusyuk. 

Karpetnya cukup tebal dan secara rutin dibersihkan sebulan sekali. Sajadah, mukena dan Al Quran tersedia dan tersimpan rapi di pojok ruangan dekat pintu masuk. 

Memang musala ini digabung untuk lelaki dan perempuan. Tetapi siapa pun yang akan salat di sini tentunya sudah tahu, jika perempuan, akan mengambil tempat di bagian paling belakang.

From America With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang