4

66 15 1
                                    

Kepala keluarga Praharsa yang 90% nurunin penampilan sampai sifatnya ke satu-satunya anak yang dia punya itu ngehela nafasnya.

Matanya ngelihatin gimana anak yang usianya nyaris 15 tahun itu mulai meminum air yang dibawain sama istrinya.

Kadang, dia memang kepikiran buat anak-anak, Miyuki terlihat mencolok. Selain sikapnya yang agak dewasa, pola pikirnya pun dari kecil memang selalu buat Tuan Praharsa kaget.

Terlalu rasional.

Bagus sih, rasional itu perlu.

Tapi harusnya ga sampai melebihi batas. Mempertanyakan eksistensi makhluk yang disembah itu udah melebih batas.

Itu dosa, ga seharusnya keberadaan Nya dipertanyakan.

"Udah nak?"

"Iya."

Nyonya Praharsa harap-harap cemas, dia duduk di sebelah anaknya, ngegenggam tangan kecil yang dulu selalu dia gandeng, yang dulu selalu balas ngegenggam tangannya kuat-kuat.

Baginya, Miyuki tetap masih kecil, masih bayi dimatanya.

"Kenapa kamu bilang kayak gitu dua hari yang lalu?"

Tuan Praharsa buka suara. To the point, ga basa-basi sama sekali.

Ayah yang usianya nyaris masuk 40 tahun itu tahu bagaimana karakter anaknya, mirip sepertinya yang tidak suka basa-basi kalau berada dalam percakapan serius.

"Mifzan udah besar, ga bisa lagi kalian bohongin. Kalau memang ada di mana? Mifzan ga bisa percaya sama sesuatu yang bahkan ga jelas eksistensinya."

Dengar jawaban anaknya Tuan Praharsa ngebalas, "nak, sebagai umat kita hanya perlu percaya."

Miyuki ngangkat wajahnya, amber warisan mamanya bersitatap sama iris kelam punya papanya.

"Pa, percaya itu berat. Papa pernah bilang, untuk percaya sama sesuatu, harus ada alasan kuat dibaliknya. Beberapa tahun ini, Mifzan mulai ga nyaman ibadah, ga hikmat lagi ibadahnya. Mifzan muak."

"Lalu sekarang, maumu gimana?"

Miyuki ngelepas kacamatanya, nutup matanya sebentar lalu bilang, "jangan paksa Mifzan buat percaya sama Tuhan, kepercayaan itu hak asasi manusia, Mifzan punya hak buat ga percaya. Mifzan capek, pa. Tolong, jangan paksa Mifzan."

Tuan Praharsa lagi-lagi diam, berusaha buat ga emosi lagi pas dengar omongan anaknya. Seperti kata istrinya, dia ga boleh marah sama anaknya. Dia cuma bisa mikirin bagian mana dari didikannya yang salah.

Apa yang salah dari semua didikannya sampai anaknya seperti ini.

Nyonya Praharsa cuma bisa nangis, dia ngegenggam tangan anaknya kuat. Keluarga mereka harmonis, ga ada kesulitan berarti selama mereka hidup sama-sama, ga ada masalah besar yang nimpa mereka selama Miyuki lahir.

Dalam hati Nyonya Praharsa cuma bisa memohon sama Tuhan, tolong kuatkan dia dengan cobaan yang baru saja dia rasa melalui anaknya.

Kalau dia hancur dengan cobaan ini, lalu anaknya gimana? Dia harus kuat buat anaknya dan usaha nemuin solusi buat anaknya sendiri.

Tuan Praharsa berdiri, dia naruh telapak tangannya di kepala Miyuki.

"Yaudah, terserah kamu. Hidupmu itu tanggung jawabmu sendiri. Tapi ingat, papa sama mama selalu ngedukung kamu. Kami cuma mau yang terbaik buat kamu."

Sempiternal [Misawa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang