"Kalian dengar tidak? Mama Panca itu seorang guru lho. Tapi kenapa Panca tidak pintar, ya?"
"Kalau aku jadi Ibunya, aku pasti akan malu punya anak sebodoh Panca."
"Kenapa kau tidak mati saja? Kau hanya membuat Ibumu jadi cemooh tetangga."
Bulir air mata menetes di seprai kasur, membasahi kertas rapor yang baru diterima tadi pagi. Semua nilai berwarna merah. Tidak ada yang tuntas.
"Tidak apa-apa, Nak. Mama tidak peduli nilai. Yang penting kamu sudah berusaha." Begitu kata Sokeri membesarkan hati anaknya. Tersenyum hangat.
Tetapi, makian itu makin menjadi-jadi.
"Kau seharusnya mati, Panca. Kau tidak kasihan dengan Ibumu? Hahaha, kau seharusnya mengutuk kebodohanmu."
"Kenapa nilai Panca tidak naik tapi malah anjlok sih? Mamanya tidak mengajarinya, ya? Hahaha, Ibu macam apa itu."
"Guru gaji buta kali."
"Ibu-anak sama-sama memalukan."
Tok Tok Tok. Sokeri mengetuk pintu kamar Panca. "Sayang, makan malam sudah siap. Ayo turun. Papa sebentar lagi pulang lho."
Tidak ada jawaban. Mengernyit, Sokeri pun memutar gerendel pintu, tertegun melihat kursi jatuh serta kaki menjuntai di langit-langit.
Panca gantung diri dengan mata sembab dan kosong.
Brak! Direktur perusahaan menatap marah. "Karena ketidakbecusanmu mendidik anak, rumor tentangmu merusak reputasi perusahaan ini. Pantaskah dirimu disebut seorang ayah? Mulai hari ini kau dipecat! Aku tidak ingin punya karyawan teledor sepertimu!"
Sokeri meninggalkan jam pelajarannya, bergegas masuk ke apartemen saat suaminya mengirim pesan ganjil, berhenti melangkah.
Air bak melimpah, dicampur warna merah. Di sana tubuh suaminya terendam. Darahnya berasal dari pergelangan tangan yang robek. Sudah tidak bernyawa.
Dan Sokeri hanya bisa terperangah di luar kamar mandi, memandang pasrah.
*
Di dalam bak, aku memandang datar langit-langit kamar mandi, mengingat cerita singkat Sokeri tadi siang.
Benar juga, ya. Aku ingat orang yang selalu bersifat ceria bukan berarti punya hidup cerah. Sokeri menjadi salah satunya. Kasihan dia, menjadi janda oleh omongan manusia-manusia sok tahu itu.
"Hierarki yang menjadi prahara, merasa manusia paling pintar di dunia. Ada saja orang yang seperti itu. Menyebalkan." Aku mendecih, keluar dari bak dengan dengusan.
Mereka tidak punya kerjaan lain apa sampai menilai kehidupan orang lain. Seolah sudah jadi manusia paling benar sedunia saja. Keluarga seseorang mati karena lidah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] MARMORIS
ActionMARMORIS. Guild nomor satu di game yang sedang mendunia. Tidak ada yang bisa menggeser posisi mereka. Tidak ada yang bisa mengalahkan member dari guild itu. Apalagi kapten dari guild MARMORIS player dengan reputasi tinggi yang pernah ada. Rasa iri t...