Aku terbangun karena mengantuk dipan kepala kasur. Keningku panas, mengusap-usapnya sebal, kemudian meneliti sekeliling.
Lho? Ini... di kamarku? Apa aku bermimpi dikejar tujuh inti anggota Marmoris? Tapi badanku masih capek lho. Ingatanku masih segar lari-lari dari gang ke gang demi memusingkan mereka. Apa aku tidur berjalan sampai ke rumah?
"Well, aku sudah pulang juga. Tak perlu dipikirkan lagi. Saatnya mandi," kataku simpel, secepat kilat menanggalkan baju, melesat ke kamar mandi.
Selama membersihkan tubuh, aku kepikiran sosok yang membidik Northa. Coba pakai kepintaranmu, Ram. Pindai kembali apa yang kau ingat.
Kenapa orang itu mengincar Northa? Tidak, bukan itu pertanyaannya. Apa benar senapannya sudah diatur? Itu dia pertanyaannya.
Aku terdiam, menyisakan suara air yang dikeluarkan sower. Sniper itu jelas menguasai ilmu balistik.
Aku menelan ludah. Dipikirkan sekali lagi, aneh rasanya Northa langsung menerima tembakan saat keluar dari gerbang sekolah. Kecuali jika mereka memakai sistem "tandai" dalam rudal, tapi aku yakin benda seperti itu tidak ada.
Dengan kata lain, perkiraanku meleset. Senapan itu bukan diatur tapi betulan dikontrol. Sial! Pemikiran tidak mau terlibat dengan Marmoris membuatku lengah ke sekian kalinya.
Tanganku meraih handuk, tetapi... kosong?
Aku menoleh ke gantungan, tidak ada handukku di sana. Aku lupa Mama mencuci pagi tadi dan mengambil handukku yang sudah kotor. Pasti Mama lupa meletakkannya.
"Tinggal turun ke bawah. Kan gampang." Aku memegang kenop pintu, sejenak ragu.
Badanku masih basah. Tetesan air dari helai rambut mengalir. Mama bakal ngamuk lihat lantai becek. Tapi Mama ngomelnya sebentar doang terus nanti aku dicubiti.
"Well, cuman aku dan Mama di rumah ini. Kenapa pula malu sama Mama sendiri," gumamku enteng, memutar gerendel.
Aku berderap menuruni anak tangan, tetes air memercik-mercik, bergabung ke ruang tamu. "Ma! Mana... handuk... Ram..."
Northa dan Tobi tersedak air teh. Sokeri dan Dien tersenyum ala pedofil. Hermit dan Castle menepuk dahi. Mangto melambaikan tangan, wajah teduh nan hangat.
"Malam, Kapten. Tidurmu nyenyak? Kapten harus tahu, Sokeri menyimpan banyak fotomu saat terlelap di taman."
"AAAAAAAAAA!!!!!!!!"
*
Mama mengulum senyum. "Makanya Ram, lepasin anti-suara di kamarmu itu biar percakapan di bawah terdengar. Kamu kebiasaan deh telanjang habis mandi—"
Aku membekap mulut Mama segera, memelas. "Berhenti-bahas-itu!"
Mama habis-habisan menahan tawa, mencubit pipiku keras. "Aduh! Bikin gemas deh anak Mama satu ini."
Aku memberikan piring kosong. "Ram mau tambah! Nasinya habis!"
"Siap, bos kecil. Jangan mengambek dong. Kan mulutnya jadi kayak bebek," kekeh Mama sebelum pergi ke dapur.
Aku mengepalkan tangan senang. Bagus! Mama sudah pergi! Kusapu pandangan ke mereka bertujuh. "Jadi, ada gerangan apa kalian ke rumahku? Tak cukup merecokiku di sekolah?"
"Tenanglah dulu, Kapten kecil. Mamamu lah yang mengajak kami untuk mampir. Teh buatan beliau sangat lezat."
"Benar, Kapten kecil. Tampaknya beliau tertarik pada Mangto deh."
"Eh, kenapa kalian mengganti nama panggilanku?" kataku mengernyit curiga.
"Lalu kami harus memanggil apa? Gajah Kapten unyu?" celetuk Sokeri polos.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] MARMORIS
AcciónMARMORIS. Guild nomor satu di game yang sedang mendunia. Tidak ada yang bisa menggeser posisi mereka. Tidak ada yang bisa mengalahkan member dari guild itu. Apalagi kapten dari guild MARMORIS player dengan reputasi tinggi yang pernah ada. Rasa iri t...