Aku bangun, mengucek mata, menyesuaikan pencahayaan di ruangan. Selimut tebal membalut tubuhku.
Eh? Aku tidak ingat punya selimut ini?
Berpikir cepat, aku menatap sekitar yang asing. Oh, astaga! Ini bukan kamarku! Sejak kapan pula kamarku semewah dan 'sejantan' ini? Apa yang terjadi? Aku diculik? Mama!!
Ingatan semalam terlintas di kepalaku.
Aku ingat, aku kabur dari rumah, bertemu Mangto dan kami bermain catur, lalu aku ketiduran di... di pangkuan Mangto,
Spontan aku menjambak rambut frustasi, berteriak, "Ram bodoh! Ram bocah! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa kau malah tertidur, hah?! Harusnya kau melarikan diri! Bukan malah menerima ajakannya bermain catur! Dasar naluri anak-anak!"
Ini memalukan. Ini keliru. Ini menyebalkan. Mangto sekarang sudah tahu siapa Clandestine, yang paling menjengkelkan, aku tak bisa membela diri untuk menghindari anggapan itu. Sial!
"Kau sudah bangun, Kapten?" Mangto muncul dari kamar mandi, mengeringkan rambut dengan handuk, membuatku refleks melompat kaget, membuang muka ke samping.
Aduh, kejadian tadi malam sangat memalukan membuatku tidak punya nyali menatap Mangto. Pemimpin guild Marmoris tertidur pulas di pangkuan wakilnya. Astaga.
"Aku kan sudah bilang, Kapten, untuk tidak memandang umur dalam kasus ini." Mangto berkata serius. "Aku juga sama sekali tidak kecewa dengan dirimu yang asli, justru mengagumkan anak kecil yang baru berusia dua belas tahun mempunyai otak brilian. Jadi, bisakah Kapten bersikap normal? Aku tahu Kapten bukan tipe pemalu."
"Be-berhentilah memanggilku begitu."
"Aku belum tahu namamu, Kapten."
"Na-namaku Ram."
"Baiklah, Ram, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
Hari ini hari minggu. Pertama-tama aku mungkin kembali ke rumah, Mama pasti khawatir ke mana aku semalaman. Kedua, mengajak Billy bermain ke luar. Untuk jalan aman aku akan mengajak Ideo dan gengnya, dengan begitu aku bisa leluasa mengawasi dari jauh. Mereka takkan curiga.
"Mangto, apa kau punya earphone vega? Kau bisa melakukan apa yang kusuruh nanti." Aku selonjor di kasur empuk. "Jangan mencolok, sebisa mungkin berpikirlah bahwa kalian melakukan meet up biasa. Atau mereka bisa sangsi. Jika ada yang membahas soal teror, kau harus pandai-pandai mengalihkan topik. Terutama perhatikan Castle. Anak itu sangat jeli."
Mangto mengangguk. "Aku mungkin bisa melakukannya. Lalu, Kapten sendiri bagaimana?"
Aku manyun. Orang ini menyebutku begitu lagi. "Kau jangan pedulikan aku, Mangto. Ketika target meletak perhatian ke sesuatu, mereka akan tertarik pada 'sesuatu' tersebut. Aku yang kena batunya nanti."
"Baik, tapi berjanjilah kalau kau tidak bertindak gegabah, Kapten. Ini bukan permainan, yang mana player bisa hidup kembali."
Katakan itu pada dirimu sendiri! Aku lebih mencemaskan Mangto yang tidak bisa mengontrol sikapnya saat meet up.
"Tapi, Kapten,"
"Apa lagi?"
"Jika situasinya rumit, jangan ragu untuk berteriak. Umurmu bisa dimanfaatkan di sini. Mereka berpikir Kapten diganggu orang mesum, lantas akan menggebuki pelaku. Jangan sampai disogok permen, boneka atau cokelat, Kapten!"
Aku melotot, melempar guling ke mukanya.
*
"Ke mana kamu menginap semalam?"

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] MARMORIS
AkcjaMARMORIS. Guild nomor satu di game yang sedang mendunia. Tidak ada yang bisa menggeser posisi mereka. Tidak ada yang bisa mengalahkan member dari guild itu. Apalagi kapten dari guild MARMORIS player dengan reputasi tinggi yang pernah ada. Rasa iri t...