39

294 86 18
                                    

Di suatu malam, seminggu sebelum Marmoris melawan Sembilan Benteng Woodzn.

"Ngomong-ngomong Mangto, ada yang ingin kukatakan." Akhirnya tiba lagi dimana aku dan Mangto berduaan. Maklumlah, dia pertama yang tahu identitasku. Akhir-akhir ini aku jarang dua-duaan dengannya. Selain aku sibuk dengan member Marmoris yang lain, Mangto juga sibuk PDKT sama Mama.

"Kenapa, Kapten?"

"Aku senang kau peduli pada pendidikanku. Mau mencarikan SMP favorit untukku."

"Yeah. Apa Kapten mau melanjutkan studimu di SMP Octobris? Kapten bisa menjadi adik kelas Northa dan Tobi. Paling tidak Kapten aman dari pembulian karena yah, tahulah sifat Northa."

Aku terkekeh, mengangguk-angguk. Aku paham maksudnya. Northa akan mendrampat siapa pun yang mengganggu "teman"-nya.

"Terima kasih, Mangto. Aku berterima kasih secara resmi padamu mau menolongku. Tetapi maaf, aku sudah punya pilihan."

"Oh, ya? Kapten sudah menentukan di mana melanjutkan studi? Aku jadi penasaran."

-

"Orangtuaku membuangku karena aku tidak berguna bagi mereka, lantas aku tak sengaja menemukan game itu. Bertemu Klendestine dan memberitahuku arti dari keluarga sesungguhnya. Bagiku! Tidak ada yang lebih penting dari kehendak Klendestine. Game itu sudah merongrong hidupku. Semuanya tidak ada artinya lagi."

Ram terkekeh kecil.

"Apa yang lucu?" Flamehale mendengus kasar.

"Tidak," Ram menyudahi tawa sarkasnya. "Kau yang punya kehidupan menyedihkan, kenapa melampiaskannya ke orang? Kau boleh meminta bantuan pada teman-temanmu, namun jangan serakah. Karena kau tak bisa terlalu bergantung padanya. Lihat akibatnya, dia jadi memperalatmu."

"KAPTEN! BERHENTI MENGINTIMIDASINYA!"

"Memangnya kenapa, Castle? Aku tidak salah. Dia takkan berani melakukannya. Kau sama seperti Menas! Bergantung pada orang yang kuat! Terlanjur mengharapkan orang itu! Tidak percaya pada kemampuan sendiri."

Flamehale tertawa dingin, mengeluarkan pisau dari saku jaketnya. "Sepertinya kau sangat ingin mati, Clandestine. Apa kau menyerah dalam hidup sebab identitasmu ketahuan? Percakapan ini direkam. Setelah semuanya selesai, aku akan langsung mempublikasikannya ke massa." Dia tersenyum miring, menginjak ponsel Ram yang tergeletak di lantai. "Kau pikir aku tidak tahu kau sedang mengulur waktu, huh?"

Peluh Ram jatuh, menelan ludah.

"Aku tahu kau sedang menunggu momentum. Kau meminta bantuan polisi, kan?"

"Kalau kau ingin membunuhku, cepat akhiri. Aku sudah malas berdebat dengan remaja bodoh yang membiarkan peniru maniak mengendalikan pikirannya. Aku rasa Sembilan Benteng Woodzn juga begitu, kan?"

Plozo loncat dari posisi rebahan, ingin melayangkan bogeman jika Lizi tidak mencegatnya. "Aahh, bocah itu benar-benar membuatku jengkel."

"Sabar, sabar. Dia hanya anak kecil."

Akan tetapi, kesabaran Flamehale sudah habis. Dia maju ke depan Ram, mencengkeram bahunya, lantas menikam perut Ram.

Bola mata Ram terbelalak. Flamehale benar-benar melakukannya.

"KAPTEN!!!!" Mangto berseru panjang. Member Marmoris yang lain menutup mulut kaget. Berkaca-kaca.

Daerah menetes dan mengalir ke bilah pisau. Flamehale menyeringai. "Kenapa diam? Ayo, lanjutkan provokasimu. Sudah kubilang aku bukan Menas. Jangan harap aku sungkan membunuhmu, Clandestine."

[END] MARMORISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang