Tenang. Tenang, Ram.
Mereka berdua tidak tahu siapa aku.
Mereka berdua tidak tahu wujud asli Kapten Marmoris. Mereka takkan tahu aku Clandestine!
Mereka hanya mengira aku adalah paman-paman pekerja kantoran berumur 30-45 tahunan, bukan anak kecil SD. Siapa yang menyangka kan. Aku harus tenang agar bisa lolos dari situasi ini dengan aman.
Sial. Tubuhku tidak bisa bergerak saking gugupnya. Aku harus segera enyah sebelum mereka mulai bertanya. Ayo, bergeraklah kaki!
Bagaimana tidak?
Ada Mangto dan Hermit bercakap-cakap tepat di depanku. Dua anggota guild Marmoris yang selama ini tidak pernah tatap muka denganku, ada di hadapanku sekarang. Nyata bukan mimpi. Jika mimpi, ini adalah mimpi terburuk yang pernah kualami.
"Ah, pahamu memar. Pasti berkat benturan tadi." Celaka! Aku telat melompat dari titik penglihatan mereka! "Kakak benar-benar minta maaf."
"T-tidak apa. Aku baik-baik saja," kataku kikuk, berusaha menutupi luka memar itu. Paula sialan! Billy sialan! Jika bukan karena mereka, aku takkan pulang dalam keadaan memalukan! Jika Paula tidak menumpahkan minumannya, aku takkan memakai rok ini!
Ram yang tersulut emosinya. Ram yang batal bersikap tenang.
Hermit menatap sinis kepada Mangto. "Ini salahmu, kau tahu."
Mangto mengembuskan napas panjang, jongkok di depanku. "Paman akan bertanggung jawab. Ayo, kita pergi ke rumah sakit."
Aku secepat kilat mengibaskan tangan. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku sungguh baik-baik saja! Luka ini bukan apa-apa!" tolakku meloncat-loncat. "Lihat, tidak sakit sama sekali kok!" Huh! Luka sekecil ini membuat seorang Ram menangis? Mereka pikir mereka berurusan dengan anak SD polos? Isi hatiku. Tetap menyombong soal kebugaran.
"Baiklah, jika kau bersikeras." Mangto kembali menatap Hermit. Aku sempat menghela napas lega dia tidak memperpanjang topik. "Nah, sekarang, giliranmu. Akan kuantar kau sampai rumah."
Hermit menggeleng cepat. "Kau tidak dengar kata-kataku, Mangto? Aku bisa pulang sendiri! Aku tidak sudi diketawai berhubungan dengan om-om."
"Kenapa kau keras kepala sih?" ucap Mangto sebal. "Stalker itu masih berkeliaran. Dia jelas mengincar kita, member Marmoris. Aku seperti ini karena mencemaskanmu karena kau masih remaja. Tidakkah kau mengerti? Aku risau."
Aku terdiam.
Eh? Apa Mangto bilang tadi? Stalker? Maksudnya stalker yang mengirim pesan aneh padaku, Hermit, dan Northa? Juga penyusup di perusahaan tempat Mangto memimpin?
Oh, benar! Aku yang menyuruh Mangto agar pergi ke rumah Hermit untuk menyelidiki!
"Aku berterima kasih niat baikmu, Mangto, namun tidak. Aku bisa jaga diri." Kata orang yang menjerit-jerit dikirimi bangkai kucing. Aku memanyunkan bibir.
"Ini bukan hal yang bisa remaja lakukan sendiri, Hermit. Biarkan aku, orang dewasa, membantumu supaya kau tidak terluka."
"Aku bilang tidak ya tidak! Aku tidak mau teman-temanku salah paham."
"Ini demi kebaikanmu, Hermit. Aku tak peduli kau menolak."
"Apa kau tak punya sopan memaksa kehendakmu pada wanita?"
Aku pusing mendengar debat mereka. Yang satu ingin melindungi, yang satu malu dikata-katai. Padahal di game Hermit adalah player kalem. Kenapa di dunia nyata dia secerewet ini? Memang, realita tak seindah ekspetasi.
Yah, kalau yang dikatakan Mangto itu benar, berarti Hermit belum bisa dibilang aman. Dia tidak bisa dibiarkan sendiri. Harus ada yang menemaninya sampai tugas Castle selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] MARMORIS
AksiMARMORIS. Guild nomor satu di game yang sedang mendunia. Tidak ada yang bisa menggeser posisi mereka. Tidak ada yang bisa mengalahkan member dari guild itu. Apalagi kapten dari guild MARMORIS player dengan reputasi tinggi yang pernah ada. Rasa iri t...