Terpaksa Menikah dengan Om-om

1.6K 55 0
                                    

"Hanya waktu yang mampu menjelaskan, meski dalam keadaan menyedihkan sekalipun, sudah sepatutnya untuk disyukuri dan tak perlu disesali."

--Aina Talita Zahra--

🍁🍁🍁

Seorang gadis yang baru menginjak usia dua puluh tahun, mematung melihat wajahnya di pantulan cermin. Riasan tebal yang menghiasi wajahnya tak membuatnya khawatir, jika air matanya bisa mengubah riasan cantiknya menjadi tak beraturan kembali.

Berulang kali dia usap kasar pipinya yang sudah basah, berharap dengan itu pula wajah cantik khas mempelai wanita hilang dari wajahnya.

Namun, nihil seakan itu kulit asli yang tidak akan berefek meski terkena air mata, bedak tebal masih menempel dengan apik di wajahnya. Membuat riasan itu semakin berseri dan menyatu dengan kulit.

Tak salah, jika budget yang dikeluarkan calon suaminya cukup banyak, untuk menyewa seorang perias pengantin yang berkelas. Hasilnya memang tidak perlu diragukan lagi.

Sangat-sangat sempurna.

Gadis itu masih belum percaya jika hari ini memang hari pernikahannya. Seperti mimpi di siang bolong, yang tak ada artinya. Apalagi pernikahan yang tak pernah dia impikan, menikah dengan seorang pria dewasa yang sering dia panggil "Om-Om".

"Udah, jangan nangis terus. Lihat! Kamu tambah cantik, 'kan?" Seorang wanita paruh baya yang mengenakan kebaya khas orang Jawa dan dengan sanggul di kepalanya menghampiri.

Berjalan mendekati sang gadis yang masih menangis tanpa suara di depan cermin.

Tersenyum lembut, menegaskan dia seorang ibu yang sangat bahagia melihat momen bersejarah dalam hidup putri semata wayangnya. Menikahkan putri satu-satunya dengan pria yang tepat dalam pikirnya.

"Ma, bisa nggak dibatalin atau diundur dulu. Aina belum siap Ma, harus nikah sama Om-Om," rayunya kepada sang mama yang sedang mengelus kedua bahunya.

"Kamu ngomong apa, toh? Nak Azlan itu, sudah mengucapkan ijab kabul dengan lancar barusan. Dan, kamu sekarang sudah sah menjadi istrinya. Sudah, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Mulai sekarang kamu harus belajar menjadi istri yang penurut sama suami, hilangkan kebiasaan burukmu itu."

Riyanti-mamanya Aina merasa sangat bahagia melihat gadis yang selalu dianggapnya masih kecil, sekarang terlihat semakin cantik dan anggun dengan mengenakan baju kebaya putih.

"Hah! Yang bener, Ma?" Aina cukup tercengang mendengar perkataan mamanya yang tidak mudah dia percayai. "Mama bohong, 'kan? Aku tidak mendengar suara apa pun dari tadi," lanjutnya mencoba tersenyum, berharap kenyataan buruk akan berubah dalam hitungan menit.

"Sudah, ayo Mama antar kamu keluar, te-" kalimat mama Aina terpotong, karena Aina yang sudah mengentak-entakkan kaki di lantai.

Tanda rasa kecewanya.

"Tapi, Ma. Mama nggak adil, deh. Aku 'kan, udah bilang dari tadi pagi, aku ingin lihat acara ijab kabulnya. Kenapa aku malah dikurung di kamar? Mama curang!" protesnya, selayaknya anak kecil yang minta di belikan balon warna-warni.

"Mama itu sudah hafal dengan akal bulusmu."

Hanya bisa mengerutkan alis dan mengembungkan pipi, merasa rencana yang sudah tercium sebelum terlaksana. Perkataan sang mama memang benar. Dari semalam dia sudah menyusun rencana, agar pernikahan ini tak terlaksana.

Insecure TerinfrastrukturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang