Lebih tepatnya aku sedang kecewa dengan diri sendiri, yang tak mampu menjadi anak yang bisa mereka banggakan.
🐝🐝🐝
Mobil Pajero Sport berwarna putih, yang baru dibeli Azlan setahun lalu. Melesat cepat membelah keramaian di jalan raya. Orang yang sempat dia lewati sampai mengumpat kesal, karena saking terkejutnya mendapati pengemudi semacamnya yang seperti dikejar setan.
Keahlian yang sudah dia kubur bertahun-tahun, terealisasikan kembali. Tanpa adanya pemanasan ataupun uji coba kelayakan. Semua mengalir sebagaimana mestinya dan berjalan tanpa ada yang mampu menghentikan.
Dalam waktu enam belas menit dia sudah berhasil memarkirkan mobilnya kembali, di sekolahan. Waktu yang lebih singkat dari yang sebelumnya, yang normalnya bisa memakan waktu setengah jam lebih untuk bisa sampai di mini market milik Rasyid.
Nafasnya memburu saat kakinya menginjak di atas paping yang belum lama dia tinggal pergi. Dia kecewa, ingin marah, tetapi dia tidak memiliki hak. Dan, hanya bisa berakhir uring-uringan sendiri.
Senyum itu, senyum yang tak pernah Lita tampakkan. Nyaris tanpa celah seperti senyum istrinya, sayangnya senyum itu bukan untuk dirinya. Melainkan untuk pria lain. Sejam lamanya, dirinya hanya bisa berdiam diri di dalam mobil. Hanya untuk mendapati pemandangan yang menyesakkan seperti tadi.
Meski Lita selalu mengelak dengan anggapannya, yang katanya dia bukanlah Aina. Nyatanya Azlan tetap saja tidak rela melihat wanita itu bisa tersenyum seperti tadi bersama pria lain. Jika Lita bisa seramah itu dengan pria lain, lalu kenapa dengan Azlan tidak? Kenapa bukan muhrim selalu menjadi alasan wanita itu?
***
“Kakak, kapan balik ke Surabaya lagi?”
“Besok sore, kalau jadi. Masih nungguin temen Kakak. Kan, kebetulan yang nikah tadi pagi itu masih saudara sepupu dia. Jadi, ya ... dia harus lebih lama diem di sini. Dan, mau nggak mau, Kakak harus tetep nunggu dia. Dulu temen Kakak yang nikah ini temen kita merintis usaha yang sedang Kakak kelola. Alhamdulillah sekarang perkembangannya bagus. Banyak penulis yang mempercayakan karyanya untuk dicetak di tempat Kakak.”
Lita dan Jovan duduk di kursi plastik di teras kontrakan, di depannya terhidang berbagai jenis masakan yang dimasak kilat oleh Lita. Spesial hidangan rumahan yang sudah mahir dia olah. Untuk orang yang spesial pula tentunya.
“Masakanmu enak, pasti Mama yang ngajarin,” ucap Jovan setelah menyuapkan satu suapan penuh ke mulutnya.
Lita hanya tersenyum miris menanggapi.
“Emang Mama ada waktu buat masakin kita. Perasaan dia seorang ibu yang super sibuk sampai lupa meluangkan waktu untuk anak-anaknya.” Di akhiri dengan senyum meremehkan.
“Mama udah berubah, Na. Dia nggak kayak dulu lagi.”
Suapan Lita tertahan sejenak, untuk mencerna lamat-lamat perkataan Jovan.
“Kakak, kapan pulang ke rumah?” tanyanya penuh curiga, sebab di toko tadi Jovan mengaku belum pernah pulang sama sekali.
“Tiap lebaran. Sudah tiga kali lebaran Kakak pulang. Dan, kamu selalu tidak ada di rumah.”
“Kan, aku udah diusir dan bukan lagi bagian dari penghuni rumah itu,” ucapnya enteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Insecure Terinfrastruktur
RomantikKisah tentang wanita yang harus menanggung akibat dari pengaruh negatif pacaran. Berusaha untuk memperbaiki diri, tetapi berakhir sia-sia. Hidupnya hancur ketika dia telah hamil dengan pria lain sebelum menikah. Takdir semakin rumit, dia telah dijod...