Wajah Asli Penuh Kepalsuan

257 20 0
                                    

Tentangmu, menjadi penyesalan terbesarku karena kebodohanku.


Ingin aku memarahi waktu yang datangnya tidak tepat waktu, 

namun ...


Siapa aku?


***


Rutinitas Aina masih berlangsung seperti biasa, sama seperti kemarin menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Namun, tidak bisa dipungkiri, efek dari kejadian semalam masih berlangsung hingga detik ini. Suasana kembali dingin, bahkan lebih dingin dari awal pernikahan.

Azlan masih setia dengan kebisuannya. Meski Aina tidak suka dengan perlakuan Azlan yang tak menghargainya sama sekali, tetapi dia tetap berusaha menerima. Dia tahu suaminya sangat kecewa ketika menerima kabar buruk itu. Akan tetapi, dia termasuk manusia yang serakah dan selalu mengharapkan kata maaf.

Entah apa pun caranya agar dia bisa mendapatkan kata maaf, bahkan dipukul bisa dia terima. Asal jangan satu hal, didiamkan. Hal itu sungguh menyiksanya. Menjadikannya seperti manusia yang tak punya muka, sebab dirinya tidak bisa mengetahui apa yang diinginkan oleh suaminya.

Ingin memulai pembicaraan, bibirnya malah terasa kaku melihat wajah datar tanpa ekspresi milik Azlan yang kini duduk di seberang meja.

“Kamu nggak perlu datang ke kampus, biar aku selesaikan dulu masalahmu,” ucap Azlan sebelum beranjak dari duduknya.

Sepiring nasi goreng hanya berkurang tiga sendok makan saja, terlihat seperti tidak tersentuh. Perih rasanya, saat perjuangannya berakhir sia-sia.

Dari sepiring nasi putih untuk menjadi nasi goreng sungguh tidak mudah. Dari menahan perihnya efek bawang merah, yang membuatnya menangis pada pagi buta. Lalu dilanjutkan rasa capek saat mengulek bumbu yang diikuti adegan dramatis, di mana air matanya seakan enggan untuk pergi.

Itulah perjuangannya pada pagi buta, penuh dengan derai air mata.

Tidak bisa dipungkiri sikap Azlan kembali membuatnya menangis. Di mana rasa malu masih mendominasi, tetapi dia harus merasakan kembali bagaimana pahitnya rasa tidak dihargai.

Kalaupun Azlan tidak menghargai usahanya, kenapa dia harus peduli. Bahkan ingin membantukan permasalahannya.

Lalu dia harus apa?

Berdiam diri seperti orang bodoh yang tidak dianggap lagi keberadaannya, tetapi memilih tetap bertahan. Setidaknya beri kejelasan apa yang harus dia lakukan. Agar dia bisa merencanakan langkah ke depannya.

***


“Mas Azlan!” teriak Aina saat melihat Azlan yang tersungkur setelah mendapatkan tendangan dari pria yang saat ini dibenci olehnya.

Aina langsung berlari hendak membantu Azlan yang terduduk di lantai. Namun, tangan yang baru menyentuh lengan Azlan langsung ditepis. Membuat Aina langsung terduduk di trotoar depan kampus di samping Azlan yang terjatuh sebelumnya.

Aina masih cukup tahu diri dan ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dengan tidak merepotkan suaminya. Maka dia putuskan untuk pergi ke kampus, setelah mendapatkan panggilan dari pihak kampus.

Namun, baru kakinya menginjakkan kaki di pelataran kampus, dia mendapatkan tontonan yang membuat matanya sakit.

Bukan masalah mahasiswa lainnya yang memandangnya sebelah mata ataupun mengolok-oloknya. Hal itu masih bisa dia tahan, tetapi pemandangan ini sungguh membuat jantungnya terasa berhenti berdetak detik itu juga. Di dalam kerumunan orang, ada dua orang yang sangat dia kenali sedang berkelahi. Yang tak lain adalah Azlan dan Rendy.

“Stop!” Aina berteriak di tengah-tengah mereka—Azlan dan Rendy—dengan tangan yang terangkat untuk menghadang.

Namun, karena tersulut emosi Azlan malah dengan kasar mendorong tubuh Aina hingga terjatuh.

Sejenak keduanya—Azlan dan Rendy—cukup tercengang melihat Aina yang bersimpuh, sehingga dengan otomatis keduanya mengulurkan tangan di depan Aina.

Rasa sakit yang sebelumnya dirasakan Aina, berganti dengan senyuman karena rasa bahagianya saat melihat suaminya yang mulai peduli dengannya.

Dengan senang hati dia memilih uluran tangan Azlan.

“Mas, sudah ayo pergi!” ajak Aina dengan menggenggam tangan Azlan erat.

Melihat luka robek di ujung bibir Azlan membuat Aina semakin sedih. Dia tak rela jika Azlan harus berada lebih lama bersama Rendy.

“Bang, ternyata lo masih mau ama bekas orang lain.” Rendy tertawa mengejek, kepalanya menggeleng-geleng. “Bang Azlan, Bang Azlan. Selamat ya, bentar lagi lo bakalan jadi bapak. Tapi bapaknya anak orang lain.”

Detik itu juga Azlan menatap tajam Aina. Tangan yang sebelumnya Aina genggam kini berbalik meremas kuat tangannya. Aina sampai meringis kesakitan dibuatnya.

“Kenapa, Bang. Istri lo nggak cerita kalo dia udah hamil!” teriak Rendy yang membuat seluruh orang yang mengerumuni tadi langsung berbisik-bisik, bahkan ada yang terang-terangan menyoraki Aina.

“Ups, sorry. Keceplosan,” ejek Rendy lagi.

Aina tak memedulikan lagi cemoohan orang, yang ada di matanya hanya wajah Azlan yang berubah menegang. Urat-urat di wajahnya sampai terlihat jelas. Dan, jangan lupakan tangan Azlan yang semakin meremas kuat tangannya.

Aina sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Sudah cukup dia berbohong. Sudah cukup dia menipu banyak orang dengan wajah polosnya. Dan, inilah wajah aslinya.

Aina mengangguk,

detik itu juga tangan Azlan yang sebelumnya mencengkeram kuat mengendur. Perlahan namun pasti, tubuh Azlan meninggalkannya, membiarkannya menangis sendirian hingga menjadi bulan-bulanan orang yang menontonnya.

Hancur sudah harapannya kini.

“Aku akan tetap menunggu, Na.”

Dia tidak suka dengan kata-kata itu. Kata-kata itu bukanlah dari orang yang diinginkan Aina sekarang. Dia menatap tajam Rendy yang kini tengah berdiri dan tersenyum di depannya.

Bersambung ...

Hola!

Masih ada yang nunggu kah?


Maaf ya, agak lama gak update. Ada kendala yang sempat menghalang author untuk melanjutkan ceritanya.


Jangan lupa ya, tinggalkan jejak!

Terima kasih


Insecure TerinfrastrukturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang