Kenyataan yang begitu berat,
terkadang pilihan yang terbaik.
Dari pada mencari jalan pintas,
yang hanya memberikan kepuasan sementara.
🍁🍁🍁
“Aina sudah pergi, biarkan dia menanggung sendiri akibat perbuatannya. Maafkan Papa, Papa sangat malu kepada almarhum ayahmu dan ibumu, terutama sama kamu. Maaf kami sekeluarga sudah mengecewakan kalian.”
“Le, maafkan kami berdua. Kami sudah lalai menjadi orang tua, hingga membuat keluargamu menanggung malu. Kami tau, kami tak pantas mendapatkan kata maaf dari keluarga kalian. Hanya itu yang bisa kita lakukan, meminta maaf yang sebesar-besarnya.”
Perkataan papa-mama Aina kepada Azlan tadi, membuat Azlan benar-benar syok mendengarkan berita yang didengarnya.
Bagaimana mungkin ada orang tua yang tega mengusir anaknya yang tengah hamil. Apa tidak ada toleransi bagi anaknya yang melakukan kesalahan, mengingat ada nyawa yang bersemayam dalam perutnya? Apa mereka tidak khawatir jika hal buruk menimpa anak semata wayangnya.
“Pa, Ma. Apa kalian tidak akan berpikir, jika sampai terjadi hal buruk yang akan menimpa Aina. Jangan sampai Papa sama Mama melakukan kesalahan yang lebih besar dari yang Aina lakukan. Kalian sekarang telah mempertaruhkan dua nyawa sekaligus,” ucapnya, dengan menahan emosi yang semakin membuncah, mengingat dua orang di depannya merupakan orang yang harus dia hormati.
Sampai sekarang dia tidak habis pikir, jika kedua orang tua Aina sadar akan kelalaiannya, lalu kenapa mereka memutuskan untuk mengusir Aina.
Sejam telah berlalu dan dia hanya bisa duduk di dalam mobil yang tengah terparkir di halaman rumah mertuanya. Tempat yang tiga hari terakhir disinggahi sebentar, sebelum meninggalkan Aina yang berdiri berharap menatap kepergiannya.
Betapa bodohnya dia, malam itu dengan alasan agar keberadaannya lebih berguna, dia memilih menuruti permintaan mertuanya kala itu.
Papa Aina meneleponnya malam itu, setelah kejadian pertengkarannya bersama Rendy di depan kampus. Dia tengah berdiri di depan jendela yang gordennya terbuka separuh. Di dalam gelap dia memandang Aina yang berdiri menggigil di depan gerbang. Ada perasaan tak tega melihatnya sedang kesusahan, tetapi dirinya sudah terlanjur kecewa dengan tipuannya.
Di seberang telepon papa mertuanya tengah berbicara, “Maaf Papa akan menyusahkanmu lagi. Tolong! Bawa Aina pulang, biar Papa urus anak itu.”
“Baik, Pa,” jawabnya dan tanpa pikir panjang, langsung mengantarkan istrinya kembali kepada orang tuanya.
Seakan tak percaya jika saat itu merupakan malam terakhir melihat Aina-istri kecilnya. Dia berharap, jika malam itu kedua mertuanya akan meminta pertanggungjawaban kepada Rendy, pria yang telah menghamili anak semata wayang mereka. Tanpa berpikir bahwa hal yang lebih buruk akan terjadi.
Ke esokkan harinya Aina terusir dari rumahnya dan berselang sehari Rendy meninggal di sebuah hotel karena overdosis.
Azlan tak pernah berpikir jika Aina telah terusir. Saat jenazah Rendy melewati depan rumahnya, yang kebetulan kedua orang tua Rendy merupakan tetangganya. Dia berpikir jika semua baik-baik saja, Aina tetap berada di rumah orang tuanya. Mungkin wanita kecil itu sedang menangisi kepergian Rendy, ayah dari janin yang dia kandung.
Namun, sekarang dia benar-benar ingin mengumpat kepada mertuanya. Jika saja malam itu dia tidak menuruti permintaan mertuanya dan memilih mengantarkan Aina kepada Rendy, pasti wanita bertubuh mungil itu tak akan terusir.
Dia kecewa dengan Aina, tetapi dia tahan. Karena dia tahu Aina terpaksa menikah dengannya, sedari awal memang tak ada cinta dalam pernikahannya. Namun, berjalannya waktu hanya dia yang mulai berharap, sedangkan Aina tidak dia ketahui apa isi hatinya.
Selama tiga hari terakhir, Azlan hanya mengurungkan diri di kamar. Sibuk menata hati untuk merelakan Aina jika memang dia akan bersatu kembali bersama Rendy. Demi membesarkan buah hati mereka. Dan, saat kematian Rendy sebenarnya dia ingin mendatangi Aina. Memberinya semangat ataupun dukungan agar wanita itu kuat dan semangat.
Namun, dia tidak memiliki keberanian untuk terluka lagi.
Azlan berusaha mengikhlaskan, meski tidak mudah untuk merelakan. Semua dia lakukan demi kebaikan bersama. Demi nyawa yang belum terlahir, agar bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya kelak. Demi menutupi aib yang pernah istrinya lakukan. Demi nama baik keluarga mertuanya maupun keluarganya sendiri.
Dan, demi membahagiakan Aina bersama seseorang yang dia cintai. Meski sangat disayangkan perjuangannya sia-sia. Aina terusir dan Rendy meninggal.
“Kamu di mana, Ay,” tanyanya frustrasi. Dengan kasar mengacak rambutnya hingga berantakan.
Mobil melaju meninggalkan kediaman orang tua Aina. Tujuannya ke tempat peristirahatan terakhir Rendy. Siapa tahu Aina ada di sana.
Namun, sayangnya tidak dia temukan. Saat melewati sebuah jembatan, dia menghentikan mobilnya melihat kerumunan warga yang sudah memenuhi jalan raya.
Karena penasaran dia turun.
Polisi telah membungkus mayat seorang wanita yang ditemukan gantung diri semalam. Tiba-tiba perasaan takut mulai menyelimuti hati Azlan. Trauma di masa lalu kembali menghantuinya.
Di mana orang yang dia sayangi rela dipinang kematian, hanya karena alasan putus cinta.
Di tengah kehebohan warga saat menemukan tas selempang kecil berwarna merah, tanpa sadar Azlan berlari dan langsung merebut benda itu. Saat itu pula tubuhnya terduduk lesu di atas aspal. Pandangannya kosong mengarah ke tubuh mayat yang mulai dimasukkan ke dalam ambulance.
"Tidak mungkin Aina. Ini pasti hanya mimpi,” gumannya.
Bersambung ...
Malam minggu ceria
Tapi sepertinya tak seceria Azlan ya.
Kasihan 😢
Sabar ya Azlan, aku selalu bersamamu 🤭
Udah ah!
Jangan lupa tinggalkan jejak!
Tekan bintang, Komentar, dan Follow akunku.
Terima kasih semuanya
KAMU SEDANG MEMBACA
Insecure Terinfrastruktur
RomanceKisah tentang wanita yang harus menanggung akibat dari pengaruh negatif pacaran. Berusaha untuk memperbaiki diri, tetapi berakhir sia-sia. Hidupnya hancur ketika dia telah hamil dengan pria lain sebelum menikah. Takdir semakin rumit, dia telah dijod...