Sebuah Kisah dalam Cerita

178 12 0
                                    

Kau datang tanpa kupinta

Sengaja kau lukiskan kisah yang sulit kulupa

Tentang Asmaraloka

Dunia cinta kasih yang belum sempat tercurah

Membelenggu, membiarkanku mengendap semakin lama

Dalam buaian rasa yang fana


🍁🍁🍁

Pagi yang masih berkabut. Azlan menutup bacaan surat Yasinnya dengan Al-Fatihah, khusus untuk seorang yang telah lama pergi dari hidupnya.

Dia masih bersimpuh di atas rerumputan hijau yang masih basah. Hanya untuk menghabiskan waktu untuk merenung.

Setelah ini, di pusara mana lagi yang harus aku kunjungi. Jika makam Dewi bisa aku kunjungi sewaktu-waktu. Lalu, bagaimana dengan dirimu, Aina? Ke mana aku harus pergi menemuimu? Apa di jembatan tempat tasmu di temukan? Atau aku harus terjun sampai ke dasar sungai yang dalam dulu untuk menemuimu? Beri aku jawaban, agar sesal ini tak kian menyiksaku.

Di pagi buta, dia jadikan waktu yang tepat untuk pergi. Sebelum ada orang lain yang menyadari kepergiannya. Dia tidak ingin ada salam perpisahan dengan orang-orang yang dia jumpai selama sebulan terakhir. Karena sedari awal memang tak ada yang namanya pertemuan. Baginya, waktu tiga puluh dua hari itu mimpi panjangnya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah jadi nyata.

Anggap saja suatu kebetulan, yang mampu menghadirkan tawa dan luka dalam satu waktu.

'Maaf, Gus. Aku ada kepentingan mendadak di jember. Dan, aku tidak bisa pamit secara langsung. Aku ucapkan selamat atas terbukanya cabang baru usaha Gus. Semoga ke depannya diberi kelancaran dan bisa bermanfaat bagi orang banyak. Sekali lagi aku minta maaf, tidak bisa menghadiri undangan acara syukuran nanti malam. Insya Allah jika ada kesempatan, aku akan main-main ke Banyuwangi lagi. Sekalian silaturahmi ke keluarga pesantren. Sampaikan salamku juga kepada Abi dan Umi.'

Pesan yang Azlan kirimkan, sebelum mobilnya benar-benar menjauh dari salah satu kota di Banyuwangi. Kota yang menjadi tempat kelahirannya.

Tempat ini pula yang menjadi saksi bisu bagaimana kenakalannya semasa muda dulu. Tempat ini dia tinggalkan setelah melukis aib kepada seorang perempuan yang pernah dia cintai. Hal serupa seperti Aina, tetapi baiknya Allah masih mau menutupi aibnya dan hanya keluarganya saja yang tahu. Hingga waktu itu papanya putuskan untuk berpindah ke kota lain dan meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya dia pikul.

Bisa jadi kematian papanya itu dirinya juga penyebabnya. Sebab, sejak orang tua Dewi meminta pertanggung jawaban kepada dirinya. Papanya yang memang notabenenya seorang pendiam, semakin diam dan suka menyendiri. 

Tanpa dirinya tahu, jika papanya sedang memendam luka hingga membuatnya memilih untuk pergi selamanya. Tanpa memedulikan beban aib yang dia emban. Dia menyerah, tidak mau berjuang melawan penyakit yang dideritanya.

Waktu yang terus bergulir tak akan Azlan sia-siakan lagi. Sekarang hanya tinggal mama dan Jessy—adiknya, yang menjadi tanggung jawabnya setelah kepergian papanya. Kebahagiaan mereka ada di tangannya dan dia juga harus bisa memastikan hidup mereka selalu aman.

***


Selesai menunaikan sholat Isyak, di mana Azlan lah yang menjadi imamnya untuk malam ini bagi keluarganya. Tentunya hanya terdiri dari mamanya dan Jessy saja sebagai makmum. Andai saja ditambah dengan kehadiran seorang istri pasti akan lebih lengkap rasanya.

Jika mengingat soal istri, pastinya hanya satu wanita yang dia ingat. Siapa lagi kalau bukan Aina. Apalagi di luar sedang hujan. Dan, dia hanya bisa merenung di depan jendela sambil mengingat momen yang hanya menumpang lewat dalam hidupnya dulu.

Dirinya kadang sampai membayangkan, jika saja Aina menggunakan kerudung, pasti akan sama cantiknya dengan Lita.

Astagfirullah! Malah ingat wanita itu lagi. Ini nggak boleh terus-terusan. Dia sudah menemukan pria pilihannya. Semoga saja pria itu bisa menjadi Ayah yang baik untuk Dzakka. Bicara soal Dzakka, jadi rindu anak itu.

Rindu Dzakka apa Mamanya?

Dua-duanya juga boleh.

“Gila! Bisa-bisa aku gila lama-lama.”

Azlan mengacak-acak rambutnya yang kini terlihat lebih panjang dari biasanya. Dia memang sengaja tidak memotong rambut. Malas, lagi pula tak ada gunanya berpenampilan rapi kalau tidak ada yang mau menikmati.

“Astagfirullah, Mas! Ganggu tau!” Jessy mengaduh kesal karena kesibukannya merasa diganggu oleh Azlan yang sengaja mengambil bantal dalam pangkuannya.

Akan tetapi, Azlan tak merasa bersalah sedikit pun. Malah kini bantal itu dia jadikan bantalan kepalanya di sofa, di atas Jessy yang duduk di karpet.

“Kamu nonton apaan sih, Jes? Bahasanya nggak jelas, emang kamu ngerti?”

“Ya, ngertilah Mas. Kan ada artinya itu.”

“Lagian kamu nonton kayak ginian malah sibuk mainin hp.”

“Terserah akulah.”

Azlan hanya menghembuskan nafas pasrah harus menghadapi kebiasaan adiknya, jika sudah memegang handpone pasti sulit untuk dialihkan perhatiannya.

“Jangan diganti, Mas. Nanggung bentar lagi udah habis.”

Aneh, dari mana Jessy tahu kalau Azlan kini mengambil remot berniat mengganti chanel televisi. Pria itu hanya bisa mendengus menuruti keegoisan adiknya. Perkataan Jessy pun terbukti, setelah sang aktor pria memayungi seorang wanita yang tengah berteduh dari hujan, episode untuk malam ini pun selesai. Azlan sampai heran, mengetahui tebakan adiknya yang benar.

“Mas, di sini hujan. Jangan menunggu seseorang di sini. Berteduhlah dan kabari orang itu di mana keberadaanmu.”

Tiba-tiba perkataan seorang wanita yang memberinya payung di taman terngiang-ngiang di otaknya, mungkin efek dari nonton drama Korea barusan.

Azlan baru menyadari, bukankah wanita itu bernama Lita. Dan, pria yang menunggu wanita itu, gestur tubuhnya sama persisi dengan Rasyid. Lalu yang menjadi pertanyaannya sekarang, kenapa Lita bisa tahu dia sedang menunggu seseorang?

Apa itu hanya sebuah kebetulan belaka?

Kenapa dia baru menyadarinya sekarang, seharusnya dari kemarin-kemarin saat Azlan masih menjadi tetangga kontrakan Lita. Azlan bisa menanyakan hal ini. Kalau sudah seperti ini, dirinya juga tak mungkin menanyakan peristiwa yang telah lalu. Apalagi hubungannya dengan wanita itu berakhir tidak baik. Jangankan bisa menjadi teman, menjadi orang yang dikenalnya saja wanita itu tak mau.

Tiba-tiba pikiran Azlan kembali teralihkan kepada Jessy yang sudah menangis sesenggukan. 

“Kamu kenapa sih, Jes? Putus sama pacar atau lagi berantem?” tanya Azlan, jemarinya sibuk memindahkan chanel televisi, belum ada satu pun program yang cocok dengan seleranya.

“Ini, Mas. Aku nggak tega aja baca ceritanya Kak You. Salah satu aktor di novelnya ini kisahnya mirip sekali sama Mas. Dia juga punya kebiasaan menunggu orang yang dia cintai di taman, bahkan dia juga pernah hujan-hujanan. Demi bisa menemukan keberadaan kekasihnya kembali. Tapi sayang, sampai di akhir cerita dia belum juga menemukan keberadaan kekasihnya. Sampai akhirnya dia menyerah untuk berusaha.”

Deg

Jantung Azlan terasa berhenti berdetak detik itu juga. Bagaimana mungkin ada kebetulan yang seakan itu real mengisahkan tentang dirinya. Atau ...

Bersambung ...

Insecure TerinfrastrukturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang