Bertahan Dalam Kebohongan

203 14 0
                                    

Berhenti!

Atau kau akan semakin sulit untuk bangkit kembali.


***


“Aku butuh bukti, kalau kamu memang bukan Aina, istriku yang menghilang.”

“Mas, mau bukti apalagi? Aku sudah jelaskan sedari awal, aku bukan Aina, tetapi Lita.”

“Jujur saja, Ay. Tak perlu kau tutup-tutupi lagi. Aku tau dari dulu kau sangat ahli untuk menutupi sesuatu.”

Lita bungkam bingung mencari alasan apalagi yang bisa membuat Azlan percaya. Berbohong bukanlah keahliannya, apalagi dalam situasi seperti sekarang yang tanpa persiapan matang.

Kebohongannya yang dulu saja selalu menyiksanya setiap waktu, menghantuinya setiap ada kesempatan. Dan, dia kapok untuk terus berbohong. Anggap saja identitas palsunya yang sekarang itu kebohongannya untuk saat ini dan yang terakhir kali. Jadi dia tidak akan berusaha untuk berbohong hal yang lainnya lagi.

Meski dia melupakan satu hal, bahwa di setiap kebohongan itu pasti akan tercipta kebohongan-kebohongan yang lainnya. Dia tak menyadari itu.

“Siapa Bapak dari anak yang kamu gendong sekarang?”

“Mendiang suamiku yang telah meninggal akibat kecelakaan.”

“Rendy?”

“Bukan, dia Edo,” jawabnya asal. “Apa Mas, masih belum percaya? Atau aku ajak sekalian malam ini ke makam suamiku?” gertaknya, meski Lita tidak yakin akan menemukan makam yang bernama Edo. 

Lagi pula hampir tengah malam, dia tidak bisa membayangkan bagaimana situasi kuburan di jam sedini. Bulu kuduknya langsung berdiri rasanya.

“Boleh aku mengantarmu untuk yang terakhir kali, aku berjanji tak akan mengganggumu kembali.”

***


Berdebat dengan Azlan pasti selalu berakhir kekalahan. Yang kata Azlan, Lita adalah seorang ahli berbohong, nyatanya masih bisa kalah debat dengan seorang Azlan.

Lita berjalan di depan Azlan dengan jarak dua meter. Mengingat situasi di sekitarnya yang mulai sepi, khawatir jika akan menimbulkan kabar berita yang tidak sedap di telinga. Apalagi dengan status Lita yang selalu dianggap meresahkan warga sekitarnya.

Seberapa besar usaha Lita untuk menjaga diri sendiri, pasti selalu berakhir dengan gunjingan para tetangganya. Yang dikabarkan janda kecentilan, punya anak tanpa ada bapaknya, dan yang inilah yang itulah. Pokoknya lengkap kayak paket komplit. 

Lita sampai lelah mendengarnya.

Mungkin itu yang menjadi alasan Rasyid ingin menjodohkannya terus, sekaligus menghindari desakan Bella yang selalu memintanya bersedia menjadi madu.

“Lita, pelan-pelan jalannya.”

“Hem.”

Hanya sekedar menjawab, tetapi tidak dilakukan. Lita membiarkan Azlan semakin jauh tertinggal. Membuat pria itu sampai ngos-ngosan karena berjalan cepat sambil mengendong Dzakka yang bertubuh subur.

Kapok, rasakan, emang enak.

Ini terjadi juga karena salah Dzakka yang bangun dari tidurnya. Anak itu menangis minta gendong kepada Azlan, hingga membuatnya kalah berdebat dengan pria itu.

Bukankah selama ini Lita yang merawat Dzakka, kenapa anak itu malah lebih suka bersama pria yang baru dia temui.

“Ayah Alan angan pelgi lagi, ya! Akka nggak unya emen kalo Mama agi kelja.”

Ayah?

“Hah? Lita, Dzakka ngomong apaan, sih?”

“Dia nyuruh mas pergi, jangan ganggu hidup dia lagi.”

“Mama! Ukan gitu!” Dzakka berteriak membuat Lita menghentikan langkahnya dan langsung menatap tajam Dzakka. “Mama nggak erti.”

“Mama bohong ya, Ka,” ucap Azlan menimpali. "Kamu jangan kayak Mama, ya, Ka. Bohong itu nggak boleh. Hukumnya dosa."

Ini nggak bisa dibiarin, bisa nggak bisa harus selesai malam ini juga.

“Mas.”

“Ya.”

“Turunkan Dzakka!” ucap Lita dingin dan datar, wajahnya kaku tanpa ekspresi.

“Nggak au, Ma.” Dzakka malah semakin mengeratkan pelukannya. 

Untuk anak seusia Dzakka, anak itu memiliki respon yang cepat untuk dunia sekitarnya. Lita sangat beruntung dengan kecerdasan yang dimiliki putranya, tetapi untuk situasi sekarang dia sangat menyayangkan itu. Anaknya yang mudah mengerti dengan pembicaraan orang dewasa semakin sulit untuk diajak negosiasi.

Namun, Lita tak kehabisan akal. Dia menarik paksa Dzakka, hingga membuat anak itu menangis.

“Ayah,” renggek Dzakka.

“Aku minta, tepati omongan Mas, barusan. Aku nggak mau, Mas muncul lagi di hadapanku.”

“Tapi, Lit. Bukankah kita masih bisa berteman,” mohon Azlan menghentikan langkah Lita. “Oke, aku minta maaf atas pertemuan kita yang sebelumnya tidak mengenakkan. Tapi aku janji, nggak akan menekanmu untuk mengakui siapa dirimu sebenarnya. Aku akan percaya kalau kamu Lita, bukan Aina. Jadi aku mohon, ijinkan aku berteman denganmu.”

“Maaf Mas, aku nggak bisa.” Aku nggak pantas berteman dengan siapa pun termasuk kamu. Aku terlalu hina, Mas.

“Kenapa?”

Lita tak menjawab, dia membuka pagar besi rumah kontrakannya yang sedikit berkarat. Lalu segera masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan Dzakka yang menangis dalam gendongannya dan Azlan yang sedang berdiri menunggu harap di depan pagar.

“Aka, dia bukan Ayah Aka, jadi jangan panggil Ayah lagi, ya!”

Maafkan aku, Mas. Aku nggak mau di antara kita ada hubungan lagi. Meski sekedar teman. Aku sadar diri, aku siapa. Pergi jauh-jauh dari hidupku, jangan biarkan usahaku beberapa tahun terakhir berakhir sia-sia. Aku ingin melupakanmu, jadi kamu harus melupakanku.

Anggap aku mati setelah pergi dari rumahmu. Biar masa lalu kita jadikan pelajaran, agar kita tak pernah jatuh di lubang yang sama lagi. Aku akan tanggung kesalahanku sendiri, kau tak perlu merasakan bagaimana deritaku.

Lita tidak tahu mengapa Azlan masih kekeh dengan keinginannya. Seharusnya pria itu bisa berpikir lebih pintar lagi. Dirinya dulu datang hanya sebentar, lalu meninggalkan aib yang jelas-jelas sudah mempermalukan Azlan. Lalu kenapa Azlan tak membencinya, kenapa dia masih berusaha membuktikan siapa dirinya yang sebenarnya.

Sudah seharusnya pria itu berhenti untuk memperjuangkannya.

Bersambung ...


Hay 

Jumpa lagi 😁

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya!

Takan Love, Komen, Subscribe, dan Follow akunku.

Terima kasih


Insecure TerinfrastrukturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang