Akhir yang Menjadi Awal Perjalanan Panjang

650 13 0
                                    

Tidak terpikirkan sedari awal. Jika sebuah hubungan yang diperkirakan tak akan pernah hangat kembali dan sudah berada di ujung tanduk. Hanya dengan cara ini yang mampu mencairkan semua. Berbicara dan air mata.

Perjuangan Azlan akhirnya berhasil. Aina tak akan terlepas lagi dari genggamannya. Selama dia hidup, dia memiliki prinsip. Menikah cukup sekali dan menua bersama.

“Dari buku yang berjudul ATD. Aku baru nyadar, itu kayak inisial namaku, ya? Azlan Thaf—“

Aina menyumpal mulut Azlan dengan tangannya.Tak tahan mendengar kelanjutan ucapan Azlan. Azlan tertawa puas setelah berhasil melepaskan tangan Aina dari mulutnya. Dia genggam erat tangan Aina, meski wanita itu terus berusaha melepaskan genggamannya. Namun, tenaga Aina tak akan bisa mengalahkannya.

“Ternyata Mas yang nyuri diariku? Bisa-bisanya, ya!”

“Aku nggak nyuri, cuma dikasih. Katanya aku yang lebih berhak.”

Aina tak percaya ternyata buku yang selama ini dia cari berada di tangan Azlan. Mengingat isi buku itu membuatnya tidak berani menampakkan wajahnya lagi di depan Azlan. Astaga, malunya.

Dalam buku itu berisikan tentang perasaannya selama ini yang dia pendam. Tentang penyesalan akan perbuatannya dulu dan juga rindu yang tak mungkin tersalurkan.

“Siapa yang ngasih?”

“Bu Kos.”

Alis Aina menyatu. “Ning Bella?”

Azlan mengangguk membenarkan, kemudian pria itu tersenyum misterius.

“Seberapa usahaku menolak, namamu akan semakin kuat terpahat di relung hati. Teruntuk Mas Azlan yang aku cintai.”

“Ih ... nggak gitu, ya! Nggak ada, aku nggak pernah nulis kayak gitu!”

“Terus tulisan siapa, dong? Masak orang lain.”


Aina mengendikan bahu. Memang benar di baris pertama itu salah satu tulisannya di diari. Namun, selebihnya itu bukan. Azlan terlalu melebih-lebihkan.

“Terus gimana?”

“Apanya?” Aina balik bertanya.

“Kita.” Azlan menaik-naikkan alisnya. Sambil tersenyum misterius menatap mata Aina.  

Krucuk-krucuk-krucuk!

Bunyi perut Azlan membuyarkan suasana yang sempat membuat jantung Aina berdetak tidak karuan. Cara Azlan memandanginya dia tahu apa yang ada dalam pikiran pria itu. Tidak ada salahnya memang, sebab sudah terlalu lama pria itu menunggu. Azlan pun harus menahan nafsunya selama dirinya tinggal serumah. Bagi pria normal, pasti hal itu sangat menyiksa. Apalagi sedari tadi entah sudah berapa kali mereka terlibat kontak fisik.


Tak salah, kan? Halal, kok! Menginginkan istri sendiri.

Namun, suara perut Azlan membuat Aina tidak bisa berhenti tertawa.

“Mas, lapar?”

Azlan mengangguk malu. “Cuma sarapan tadi pagi, di sini.”

“Astagfirullah! Ini udah tengah malam, Mas belum makan lagi selain sarapan di rumah tadi.”

“Nggak nafsu kalau mau beli di luar. Lebih enak masakan kamu. Soalnya.”

Insecure TerinfrastrukturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang