..........
Jody mengulum dan menggigit bibirnya. Air matanya jatuh menatap Bagas yang tengah terbaring tak bertenaga.
Ini kesempatan bagus untuk Bagas melarikan dirinya. Valencia biasa selalu mengunci Bagas sendirian di kamar ketika perempuan itu ke luar rumah. Namun kali ini, ada Jody di sebelahnya.
"Maafin saya, Bagas," ujar Jody penuh penyesalan.
Sorot Bagas pun kian putus asa. Berbinar lebur menatap Jody di hadapannya. "Kenapa kamu gak mau nolongin saya? Kamu keliatannya yang paling baik di rumah ini... saya mau pulang, ketemu istri saya. Kaki saya sakit banget. Saya cuma mau minta tolong anterin ke luar sama cariin taksi online, abis itu... nanti saya pulang sendiri..." Ia kembali memohon lemah dan pilu.
Jody sungguh-sungguh ingin menolong Bagas. Namun, ia memikirkan ibunya yang sakit dan dua adiknya yang masih sekolah, yang semuanya ditanggung oleh Valencia. Kalau Jody sampai membebaskan Bagas, pasti dirinya akan mendapat hukuman. Entah akan disiksa seperti Bagas atau dipecat yang artinya Valencia tak mau lagi membiayai pengobatan ibunya yang sangat mahal.
"Saya ngerti perasaan kamu, saya tau kamu tersiksa... tapi saya minta maaf, saya belum bisa nolongin kamu." Si pembantu kembali meminta maaf.
Bagas menggenggam tangan Jody dengan kedua tangannya. "Saya minta tolong, Jody..." lirihnya memohon.
Bagas berbaring, sementara Jody duduk di ranjang bagian pinggir. Saling bertatapan dengan lirih dan sakit.
Jody menipiskan bibir, menahan iba menggiring tangis. "Saya minta maaf, Bagas. Saya belum bisa... saya bener-bener mau nolongin kamu, tapi saya belum bisa," ungkapnya begitu getir.
"Kenapa belum bisa?"
Jody melepaskan tangan Bagas dari tangannya. "Saya ambilin kamu makan malam, ya. Badan kamu sakit? Nanti saya olesin balsem. Siapa tau bisa meringankan sakitnya," ujarnya dengan senyuman paksa. Sungguh membenci diri sendiri yang tak dapat membantu sesama.
Bibir Bagas terbuka kecil. Hatinya amat perih. Menatap nanar Jody dengan sayu dan sedih. Bibirnya tergagap ingin berucap, namun tak tahu harus berucap apa lagi.
Jody meraih borgol khusus yang selalu dipasangkan di pergelangan tangan Bagas-borgol berantai yang disangkutkan pada empat tiang di sisi kepala ranjang.
"Jody, jangan borgol saya lagi..." ucap Bagas begitu lemah. Tak ada tenaga tuk melawan.
Jody berusaha tak menggubris, meski nuraninya teriris-iris. Kembali mengangkat kedua tangan Bagas ke atas kepala, mulai memasangkan lagi borgol-borgol dingin itu ke pergelangan yang sudah merah-merah keunguan.
"Saya minta maaf sama kamu, saya bener-bener gak bisa nolongin kamu sekarang. Saya janji akan nolongin kamu, tapi belum sekarang. Kamu sabar, ya, Bagas. Selalu berdoa. Saya juga selalu doain kamu," ujar Jody begitu sendu setelah selesai memborgol Bagas lagi.
Bagas hanya menatap dengan wajah lemasnya. Air mata sang sandera kembali keluar. Sampai kapan ia harus sabar?
Jody makin merasa bersalah. "Kamu harus kuat, ya. Saya yakin kamu bisa. Kamu harus ingat istri sama anak kamu. Kamu gak boleh putus asa, kamu pasti bisa ketemu sama mereka lagi," hiburnya begitu tulus.
Bagas hanya mengangguk dalam lara. Lantas, hatinya berharap besar, semoga Jody benar-benar berniat untuk menolongnya.
"Saya ambil makan malam dan balsem buat kamu, ya," ucap Jody kemudian.
Bagas hanya mengangguk pasrah. Apa lagi yang ia bisa? Jody pun beranjak ke luar kamar.
Oh, handycam? Valencia sudah mematikannya. Jadi, obrolan Bagas dan Jody tadi tidak akan diketahui oleh siapa pun selain mereka berdua dan Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
34 DAYS HOSTAGE ✔️
Mystery / ThrillerHilang setelah bekerja, tidak pulang selama 34 hari, meninggalkan istri yang sedang hamil besar, Bagas akhirnya ditemukan dengan keadaan linglung, mengenaskan, tetapi masih bernyawa meski sangat lemah. Adalah Valencia, yang secara tidak manusiawi me...