Alma gundah. Sudah satu malam suaminya tidak pulang. Tidak tahu lagi harus berbuat apa. Kacau pikiran, kalut perasaan. Ia tak dapat tidur semalaman. Perutnya keram, tak terlalu parah memang, tetapi berjam-jam. Alhasil, ia makin tak bisa terlelap.
Pukul 5 pagi, perempuan hamil itu pun ke luar rumah. Berjalan melintasi teras yang kecil, membuka pagar pendek, kemudian pergi ke rumah kontrakan yang berdempetan dengan rumah kontrakan miliknya.
Dengan ragu, Alma mengetuk pintu tetangganya sambil memberi salam, "Assalamualaikum, Bang Fikar. Assalamualaikum!"
Tak lama kemudian, kunci pintu terdengar sedang dibuka. Engsel pintu terlihat turun, lantas pintu pun terbuka setelahnya.
"Waalaikumsalam. Eh, Mbak Alma? Kenapa ini subuh-subuh sudah ketok-ketok rupanya?" tanya Fikar dengan logat khas Sumatra Utaranya.
"Bang Fikar, maaf. Tapi saya udah bingung banget, gak tau harus gimana," ujar Alma lembut, tetapi amat panik.
"Tenang dulu ya, Mbak, ya. Coba tarik napas." Fikar berusaha menenangkan sebab Alma yang pucat amat kalangan kabut bicaranya.
"Bang, suami saya gak pulang dari kemarin. Terus gak bisa dihubungi, HP-nya selalu gak aktif. Saya harus gimana menurut Bang Fikar?" tanya ibu hamil itu tak bisa tenang.
"Alamak!" Fikar terkesiap, lalu berpikir sejenak dan berucap, "Apa jangan-jangan si Bagas itu... ah, tak mungkin."
"Apa, Bang?" Alma makin panik dibuatnya.
"Gak curiga kau Mbak kalau si Bagas-nya itu punya selingkuhan?"
Alma lekas menggeleng banyak. "Gak sama sekali, Bang. Saya yakin Kak Bagas gak punya selingkuhan. Saya tau pola HP dan password-nya juga. Gak pernah ada yang mencurigakan di HP-nya," jelasnya.
Fikar mengangguk-angguk paham. Lelaki agak botak, kurang lebih sama usianya dengan Bagas itu memandangi perut besar Alma. Sontak, ia merasa kasihan.
"Mbak Alma, duduk dulu." Fikar menyodorkan kursi plastik yang ada di teras kecilnya.
Alma menatap kursi tersebut, kemudian mendudukkan dirinya dengan buru-buru. "Bang, saya lapor polisi aja, kali, ya? Gimana menurut Bang Fikar?" tanyanya lagi.
Fikar bersandar pada tembok teras. Berdiri di depan Alma yang tengah duduk dalam kepanikan. "Tapi belum 24 jam, ya, Mbak? Setau aku belum bisa dia lapor kalau belum 24 jam. Kita tunggulah dulu ya, Mbak, ya. Siapa tau udah mau pulang si Bagas-nya sebentar lagi," ujarnya berusaha menenangkan.
Alma tidak tahu harus berkata apa. Ia menatap Fikar tanpa suara. Lama. Lantas, rasa putus asa memenuhi otaknya. Mata memanas cepat, sedetik kemudian ia tak lagi bisa menahan air mata.
"Saya takut suami saya kenapa-napa, Bang Fikar. Saya gak tau lagi harus hubungin siapa," lirih Alma sambil menutup wajah. Begitu pilu dan putus asa. Perasaan istri memang kuat.
"Mbak, jangan menangis... kek mana ya ini, bingung juga aku pun." Fikar menggaruk-garuk kepalanya.
Wanita itu tidak menggubris. Ia masih ingin menangis menumpahkan ketidaknyamanan hati.
"Ya udah, Mbak, begini ajalah. Nanti kuantarkannya Mbak ke kantor polisi, tapi aku mau cari makan dulu ya, Mbak, ya. Kalau lapar, kacau pula pikiranku gak bisa mikir," ujar Fikar apa adanya.
Alma mengangkat kepala, kemudian mengangguk setuju atas saran Fikar. Karena sungguh, di wilayah kontrakannya tersebut, tidak banyak warga yang Alma kenal. Hanya Fikar saja selaku tetangga terdekat yang mengontrak di kontrakan sebelah kontrakannya dan Bagas.
⛓📽⛓📽⛓
KAMU SEDANG MEMBACA
34 DAYS HOSTAGE ✔️
Mistero / ThrillerHilang setelah bekerja, tidak pulang selama 34 hari, meninggalkan istri yang sedang hamil besar, Bagas akhirnya ditemukan dengan keadaan linglung, mengenaskan, tetapi masih bernyawa meski sangat lemah. Adalah Valencia, yang secara tidak manusiawi me...