3 bulan kemudian. Tanggal 20 Juni.
Setelah pembicaraanku dengan dia, suamiku di tiga bulan lalu, kehidupan intim kami berangsur-angsur membaik. Meski kini dirinya cenderung pasif, tidak seperti dulu, aku tidak mempermasalahkan. Aku yakin lama-lama, harga dirinya sebagai suami pasti akan kembali seiring berjalannya waktu.
Pasif di sini berarti yang sebenarnya. Dia jadi seperti ragu untuk memulai. Selalu aku yang meminta dengan isyarat kata atau gerak badan. Semenjak saat itu, kami melakukannya seminggu sekaliㅡtentu setelah aku memberikan isyarat. Kalau tidak, sejauh ini dia belum ada kemauan pun keberanian untuk mengajak duluan.
Pada saat melakukan pun dia sungguh pasif, tak banyak meminta ini dan itu. Hanya melakukan sebagaimana mestinya tanpa embel-embel yang muluk. Kecuali kalau aku meminta sesuatu yang lain, atau meminta diperlakukan begini dan begitu, barulah dia melakukannya.
Sebagai istrinya, tentu saja aku sangat sadar akan perbedaan sikap suamiku di atas peraduan. Dulu, dia begitu dominan. Ada-ada saja yang dia suruhkan dan lakukan padaku. Ya, bisa dibilang dia begitu aktif, dominan, dan kreatif. Tapi sekarang, dia tak ubahnya lelaki lugu yang akan memberikan sorot malu dan gugup ketika diajak bersetubuh.
Dulu, dia biasa mengajak dua hari sekali, sedangkan sekarang hanya seminggu sekali, itu pun harus aku yang memulai dengan gurauan-guraun lucu dan menggemaskan supaya dia tidak merasa canggung.
Jujur sejujur-jujurnya, aku memanggilnya bercinta bukan semata-mata ingin mencari kepuasan. Bukan karena itu adalah suatu keharusan dalam rumah tangga. Lagi pula, tidak juga. Maksudku, berhubungan memang penting dalam pernikahan, tetapi bukan yang terpenting juga. Aku pribadi tidak akan gila atau berubah jahat jika memang dia tidak bisa lagi berhubungan. Aku akan tetap mencintainya.
Alasannya, karena aku tahu dia masih 'mampu'. Syukurnya, dia tidak mengalami disfungsi apa pun. Dia tidak mengalami suatu kondisi yang membuat kami tidak dapat melakukan itu lagi. Kalaupun itu terjadi, tentu aku tidak akan tega memaksanya berhubungan lagi.
Aku mengajaknya melakukan itu agar kami kembali 'dekat'. Aku ingin dia yakin kalau aku benar-benar mencintainya, apa adanya. Aku ingin dia kembali merasakan indahnya bercinta, dicintai, dan mencintai. Aku ingin mengembalikan harga diri dan api kebanggaan yang sempat padam disiram oleh kejahatan. Aku hanya ingin dia kembali percaya diri mengarungi dunia.
Meskipun di bagian keintiman sikapnya berubah, tetapi di bagian lain, dia sama sekali tidak berubah. Dia tetap Arrizal Bagas Haryagzha, si kakak tingkat yang melamarku di hari aku wisuda.
Aku tidak rela seseorang yang selalu membawa senyum dan tawa di bibirku justru tidak bisa membuat dirinya sendiri tersenyum juga. Aku ingin dia kembali mencintai dirinya, tidak merasa jijik, apalagi membenci dirinya. Karena bagiku, dia adalah superhero yang lebih hebat daripada The Avengers favoritnya.
"Kamu jangan pergi sama aku, aku malu. Kamu pergi sama temen-temen kamu yang lain aja. Aku gak mau kamu diomongin orang kalau bawa-bawa aku ke pesta pernikahan temen kamu." Begitu katanya padaku di bulan April, bulan lalu, ketika dia menolak ajakanku menghadiri acara pernikahan salah satu temanku.
Dia bicara baik-baik. Sorotnya begitu lembut, sarat akan rasa tahu diri. Tapi aku tidak suka, jadi aku menyahut, "Superhero harus rendah hati, tapi gak boleh rendah diri! Dia harus percaya diri karena dia udah menyelamatkan banyak orang." Terdengar kekanakan memang, namun aku tidak peduli.
Dia pun menyahut lagi, "Alma, serius... aku takutnya kamu malu."
Aku semakin tidak terima, aku membalas, "emangnya kata siapa aku bakal malu? Aku gak pernah malu, tuh. Kak Bagas suamiku, Kak Bagas baik, terus ganteng, kenapa aku harus malu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
34 DAYS HOSTAGE ✔️
Mystery / ThrillerHilang setelah bekerja, tidak pulang selama 34 hari, meninggalkan istri yang sedang hamil besar, Bagas akhirnya ditemukan dengan keadaan linglung, mengenaskan, tetapi masih bernyawa meski sangat lemah. Adalah Valencia, yang secara tidak manusiawi me...