17 - Fading Dream

864 103 95
                                    

Mba, saya mau bicara penting bgt.
Saya boleh telfon? Maaf menganggu waktunya.. tapi saya bener-bener butuh mbak sekarang....

Oh iya iya, boleh
Telfon aja, kebetulan saya lagi gak sibuk

____________________

Hari berganti dan berganti, semua orang diam bagai sudah mati. Nyawa masih menempel di bawah kulit. Namun semua harapan padam ditelan bumi. Daging bersumpah serapah pada jiwa yang tuli. Tulang mengumpati hati yang buta tak berkutik. Angin menembus bulu roma membuatnya bergidik. Semua tak berarti jika keadilan tidak diberi.

Hari ke-27 penyanderaan.

Di langit telah tertuliskan, bahwa hari kebebasan kian dekat. Namun Bagas sudah semakin lelah. Hilang harap dan semangat. Perasaannya kosong tiada tujuan. Hanya mengingat Tuhan di setiap embusan napas. Mendoakan keluarga supaya kuat, sehat, dan bahagia, lalu mendoakan diri supaya tak terlalu sakit ketika dicabut nyawa oleh Sang Malaikat.

Pasrah sebenar-benar pasrah. Seribu kali kau tanya, ia sudah pasrah. Tak lagi pernah melawan, tak lagi pernah membantah, tak lagi pernah membentak, tak lagi pernah menyahut hinaan. Sudah berserah diri sepenuhnya. Semu redup tak lagi dirasa. Hidupnya milik Tuhan. Terserah Tuhan mau diapakan dirinya, Bagas sudah ikhlas. Hanya berdoa supaya dosa-dosa dihapuskan, lalu diberi tempat bahagia di sisi-Nya.

Mentari sudah bersemayam tinggi, tetapi sinarnya tak dapat menembus gorden tebal yang menutupi jendela besar nan cantik.

Di tengah-tengah nyawa yang terhimpit, Bagas memimpikan dirinya sendiri. Ceritanya, ia sedang menatap cermin. Mendapati diri begitu tampan, segar, dan bersih. Tidak pucat kekurusan seperti sekarang, melainkan ideal dan berseri-seri. Juga... rambutnya berwarna putih. Bagas tersenyum di depan cemin sambil menggenggam bunga-bunga merah wangi.

Lantas, mengerjap beberapa kali. Menatap kamar yang tidak asing. Di pandangan kiri, melihat pantulan dirinya pada cermin jernih yang terpatri di lima pintu lemari. Sadar dirinya habis bermimpi.

Entah membuat Bagas senang atau malah membuat iri. Sebab Bagas yang di mimpi begitu ranum segar memanjakan hati. Tak seperti Bagas yang asli, semakin buruk menjemput mati. Menghitung hari, menunggu ajal yang tengah berlari.

Matanya melihat jam dinding model bunga elegan di kamar Valencia. Pukul 9 pagi. Tak ada Valencia di sisi, mungkin ke luar? Bagas tidak peduli.

"Ini hari apa..." Ia bergumam sendiri. Sedikit meringis merasakan perih di pergelangan tangan dan kaki. Borgol dingin selalu lebih menyakitkan di pagi hari.

Lalu, diam tercenung. Memandang satu arah sambil termenung. Cahaya lampu berpendar tak bagus, pecah-pecah seperti tak utuh. Daya mata Bagas makin kabur.

*klek klek

Pintu yang tekunci terbuka. Tak berniat tuk menatap siapa yang datang. Toh, semua sama saja, tak ada yang mau menolongnya.

"Pagi," sapa Jody ramah.

Bagas bergeming saja.

"Saya bawa sarapan." Jody mendekat, meletakkan nampan berisi sepiring nasi goreng spesial, susu, dan salad buah ke atas nakas.

Bagas hanya diam dengan pandangan kosongnya.

Jody menarik sebuah kursi, meletakkannya di sebelah ranjang Bagas, kemudian duduk di atasnya. Ia ambil sepiring nasi goreng, hendak menyuapi sandera majikannya.

34 DAYS HOSTAGE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang