(Cek bab sebelumnya, ya. Aku double up soalnya hari ini. Takut kelewat🙏🏻).
Tiga hari kemudian. Minggu, 9 Januari.
Hari ini orangtua Bagas pulang ke Manado sebab putusan sidang sudah sah dibacakan. Tiada lagi sidang lanjutan yang harus dihadiri oleh mereka. Dengan tiga kali sidang saja, sudah dapat menyatakan bahwa Valencia bersalah dan mesti dihukum berat.
Sebab, barang bukti yang majelis hakim terima sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan mereka. Apalagi, video-video dari empat unit handycam yang dulunya digunakan Valencia untuk menonton kembali aksi-aksinya. Bagai senjata makan tuan, empat handycam itu jadi barang bukti terkuat selama penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan. Di sana terekam jelas kejahatan-kejahatan yang Valencia lakukan kepada Bagas.
Terekam jelas, bahwa yang dilakukan Valencia pada Bagas selalu pelecehan dan pemerkosaan, bukan suka sama suka. Belum lagi penyiksaan lain yang juga terekam seperti penamparan, penjambakan, penyiletan, penghinaan, dan pengancaman. Semua itu terlalu sulit untuk dinafikan dan terlalu gila bila dibela. Apalagi, kekuatan warga dunia maya yang mengecam dan mengutuk keras perbuatan Valencia. Tak mungkin lagi wanita psikopat itu mendapatkan pembenaran.
Iya, beginilah akhirnya.
Terik langit dibubuhi angin halus yang tak dapat terasa. Bagas, Alma, Andra, dan juga Fikar yang tidak bekerja karena hari Minggu, mengantarkan orangtua Bagas ke Bandara Soekarno-Hatta. Purnama, sudah pulang lebih dulu, bahkan sebelum sidang digelar sebab kepentingan kuliah yang tak bisa ditunda. Evi tidak ikut, ada di rumah.
Setelah setengah jam berada di terminal dekat gerbang keberangkatan, pengumuman dari pengeras suara milik bandara menguar, memanggil para penumpang tujuan Manado untuk segera memasuki ruang tunggu selanjutnya. Santi dan suaminyaㅡayah Bagas yang aslinya orang Jawa tapi lama di Manado itu, harus melakukan check-in sekarang.
"Torang pulang dulu ne, Sayang. Jaga-jaga kesehatan, jang basaki. Kalo ngana saki, Mama yang semaput nanti." (Kami pulang dulu ya, Sayang. Jaga kesehatan, jangan sampai sakit. Kalau kamu sakit, Mama yang pingsan nanti). Santi berujar lembut sambil menggenggam wajah Bagas, kemudian mengecup pipi sang anak.
Bagas tersenyum sendu mendengarnya. Teringat cerita Alma yang mengatakan kalau mamanya di Manado sana, sering sekali pingsan dalam waktu 34 hari Bagas hilang tanpa titik terang. Untuk itu, ia mengharapkan kebahagiaan dan kesehatan pula untuk mamanya.
"Iyo, Ma. Mama juga sehat-sehat trus, neh. Papa juga. Satu kali bilang akang pa Puri jang jadi playgirl, masa dia bilang depe paitua ada dua, Ma?" (Iya, Ma. Mama juga sehat-sehat terus, ya. Papa juga. Sekalian bilangin ke Puri jangan jadi playgirl, masa dia bilang pacarnya ada dua, Ma?)
Ujaran Bagas membuat Mama dan Papanya tertawa, sedangkan Alma dan Fikar tidak turut tertawa karena tidak paham bahasanya.
"Iyo. Puri Papa punya urusan. Kalo ada apa-apa, kasih kabar, Gas," ujar sang ayah, memeluk erat Bagas sebentar.
Bagas ingin menangis, rasanya tidak mau orangtuanya kembali ke Manado. Biar tinggal di Jakarta saja bersama-sama. Walau susah, tidak apa. Yang penting kehangatan keluarga tidak pernah hilang. Akan tetapi, orangtuanya tetap harus pergi karena punya kehidupan lain di sana.
"Alma, Mama pulang dulu neh, Sayang. Rukun-rukun dengan Bagas." Santi berujar, mengelus pipi dan lengan menantunya.
"Iya, Ma. Nanti aku sering kirimin foto Andra, ya," balas Alma dengan senyuman manisnya.
"Iyo, Cantik. Makasih banyak, neh. Jaga-jaga Mama punya anak," pesannya dengan wajah menahan tangisan haru.
Alma mengangguk-angguk dengan rasa terenyuh. Tentu saja, ia akan berusaha sebaik mungkin menjaga anak dan cucu Mama Santi, sebab dua orang itu pun segalanya di kehidupan Alma.
KAMU SEDANG MEMBACA
34 DAYS HOSTAGE ✔️
Mystery / ThrillerHilang setelah bekerja, tidak pulang selama 34 hari, meninggalkan istri yang sedang hamil besar, Bagas akhirnya ditemukan dengan keadaan linglung, mengenaskan, tetapi masih bernyawa meski sangat lemah. Adalah Valencia, yang secara tidak manusiawi me...