I|I
Aku sudah tidak menghitungnya lagi, seberapa lama aku diam disini sambil menatap nanar batu nisan berwarna hitam yang tertancap diatas gundukan tanah depanku.
Di batu nisan itu terukir jelas nama ibuku, Adhira Raumi.
Meninggalnya ibu pagi tadi adalah pukulan terhebat yang pernah aku rasakan selama enam belas tahun hidup. Ini bahkan lebih parah dari perceraian orang tua ku yang terjadi sekitar tiga tahun lalu.
Ibu meninggal karena komplikasi penyakit yang di derita sejak beberapa tahun lalu. Selama itu, ibu memang sering kali di rawat di rumah sakit. Dan sekitar enam bulan belakangan ini, kesehatan ibu semakin memburuk sampai akhirnya hari ini ibu berpulang.
Aku tidak menyangka jika ibu sudah meninggalkanku dengan cara seperti ini. Rasa-rasanya baru kemarin aku melihat ibu tersenyum manis padaku. Ini semua benar-benar masih seperti mimpi untukku. Namun, sekeras apapun aku berusaha bangun, aku tetap tidak bisa karena ini adalah nyata. Aku sudah tidak lagi bisa mengelaknya.
"Ibu—" tenagaku sudah habis, bahkan untuk sekedar berucap saja aku tidak sanggup. Lidah ku kelu bersamaan dengan sesak di dada ku yang semakin menjadi. "Kenapa?" aku kembali berucap dengan susah payah.
Air mata yang ku kira sudah habis tak tersisa, ternyata kembali meluruh disalah satu pipiku.
Tanganku bahkan sampai gemetaran saat berusaha menyentuh bunga-bunga yang tersebar diatas makam ibu. Secara perlahan, tatapan ku lalu turun menuju foto ibu yang sedang tersenyum itu.
Bahkan belum ada dua belas jam ibu pergi, tapi aku sudah sangat merindukannya seperti ini. Aku jadi tidak yakin apa aku bisa menjalani hidupku dengan baik setelah ini.
"Ibu kenapa pergi?" bibirku bergetar, dan aku akhirnya menenggelamkan kepalaku diatas lututku dengan sebelah tangan yang mengusap-usap batu nisan ibu.
Aku tidak kuat.
Aku terisak pelan. Aku tidak bisa menahannya lagi. Ini sungguh sulit.
"Adhara!"
Aku tidak mempedulikan seruan seseorang yang baru saja memanggil namaku dengan lantang. Sekarang yang aku inginkan hanya menangis, itu saja.
"Ra!"
Aku memang mengenali suara itu, tapi aku tidak mau menengok kearahnya.
Kemudian aku bisa merasakan tetesan air yang mengenai kulitku bersamaan dengan sebuah kain yang terasa menyelimuti pundak ku.
"Ibu nggak akan suka lihat kamu kaya ini," suara itu terdengar lembut ketika masuk kedalam telingaku. "Kita pulang ke rumah Ayah, ya?! Udah gerimis, sebentar lagi pasti hujan."
Masih dengan menyembunyikan wajah, aku menggeleng pelan sebagai jawaban. "Enggak, kak. Aku mau disini sama Ibu," aku yakin jika suaraku ini dapat di dengar olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Erlangga | Na Jaemin
Fiksi PenggemarContent warning(s) ; Physical touch, kissing, cuddle, harsh word, sensitive topic, etc. Dia Erlangga, si pecinta fotografi yang memiliki senyum paling menawan. Selayaknya foto-foto yang selalu dia abadikan, aku juga akan membuat kisahnya abadi agar...