I|I
Bibirku hanya terkatup rapat dengan kedua mata yang mulai terasa memanas sekaligus berat di karenakan menahan air mata yang semakin terbendung di kedua kelopak mataku. Dalam keadaan yang seperti ini, aku benar-benar tidak sanggup berkata-kata lagi, lidahku kelu, bibirku-pun beku. Kini, segala macam pertanyaan, dan juga segala macam ungkapan yang ingin sekali ku utarakan hanya sanggup ku tahan tepat di dadaku, dimana disana ada puluhan luka yang kali ini teramat terasa perihnya.
Akan ku apakan luka-luka ini? Ku sembuhkan sendiri tak sanggup, tapi jika ku abaikan juga malah semakin menyiksaku.
Walaupun sudah jauh-jauh hari aku mempersiapkan diri jikalau suatu saat nanti luka seperti ini datang menampar harapanku lagi, tapi tetap saja tamparan atas luka ini terasa begitu menyakitkan untuk ku. Aku sampai tidak tahu harus melakukan apa untuk meredakannya walaupun hanya sedikit saja.
Masa-masa seperti ini sebenarnya pernah ku lalui sebelumnya. Bahkan belum ada satu tahun aku melaluinya, yaitu saat dimana ibu berada di posisi yang hampir sama dengan kak Erlangga sekarang. Meskipun aku pernah melalui masa-masa sulit seperti itu, tapi tetap saja aku tidak bisa terbiasa. Aku tidak bisa bersikap jika aku baik-baik saja saat harus melihat kerapuhan kak Erlangga kali ini. Sungguh aku tidak sekuat itu.
"Kalau Erlangga bisa bertahan sampai tiga bulan saja, itu sudah sangat luar biasa bagi dia."
Kalimat itu, kalimat yang tadi om Arya katakan kepadaku, dan juga kak Alaska nyatanya sanggup meruntuhkan duniaku dalam sekejap mata.
Aku bertanya-tanya, benarkan sesingkat itu waktu yang kak Erlangga miliki?
Benarkah aku akan kehilangan dia dalam kurun waktu tersebut?
Ini mimpi, bukan?
Aku masih mempunyai banyak kesempatan untuk bersama dengan kak Erlangga, kan?
Aku tidak pernah meyangka jika om Arya akan mengatakan hal seperti itu. Ku kira, ku kira kak Erlangga masih bisa bertahan lebih lama lagi. Bahkan aku juga mengira, aku mencoba yakin jika kak Erlangga bahkan bisa sembuh sepenuhnya, kak Erlangga bisa kembali sehat. Lalu sekarang bagaimana? Apakah masih bisa aku mengharapkan semua itu?
Apa boleh aku seegois ini, aku menginginkan kak Erlangga tetap disini, bersamaku?!
Memikirkan itu membuat tubuhku melemas, lalu meluruh, sampai akhirnya aku terduduk di bangku depan ruang inap kak Erlangga. Disana aku menundukan kepala, tanganku juga meremas pinggiran bangku yang terbuat dari besi ini.
"Sebenarnya Erlangga terlambat tahu kalau dia mengidap tumor otak. Saat pertama kali dia datang kesini dan di periksa, tumor di otaknya itu sebenarnya sudah cukup besar. Karena hal itu juga dia tidak bisa melakukan operasi," apa yang om Arya katakan tadi masih saja terngiang di kepalaku, membuatku yang tidak sanggup mengingatnya, meremas kepalaku sendiri dalam posisi kedua siku yang sudah bertumpu diatas lutut. "Biasanya dalam kasus yang seperti ini, kita hanya bisa membantu pasien agar gejala-gejalannya tidak begitu menyiksa bagi mereka, dan juga membantu agar tumor tersebut tidak menyebar ke organ lain dengan cara radioterapi, kemoterapi, ataupun operasi. Jadi dalam kata lain, kita sebenarnya sudah tidak bisa menyembuhkannya lagi. Apalagi dalam kasus Erlangga ini, dia terlambat menjalani pengobatan yang seharusnya," sebelumnya om Arya memang pernah mengatakan ini padaku, tapi aku tidak sampai berpikir jika itu artinya kak Erlangga hanya bisa bertahan dalam hitungan bulan saja. Ku pikir setidaknya kak Erlangga bisa bertahan lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Erlangga | Na Jaemin
FanfictionContent warning(s) ; Physical touch, kissing, cuddle, harsh word, sensitive topic, etc. Dia Erlangga, si pecinta fotografi yang memiliki senyum paling menawan. Selayaknya foto-foto yang selalu dia abadikan, aku juga akan membuat kisahnya abadi agar...