十五 LIMABELAS ─ Semburat Jingga di Atas Redum

20 4 0
                                    

    "Arum, cepat pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Arum, cepat pulang. Ada orang yang nunggu kamu, kakak mau keluar. Kamu tahukan kalau ayah tidak dirumah?"

Ucapan Kak Rangga di telfon tadi membuat tapakku melaju, entah siapa manusia itu, tapi dia membuatku harus buru-buru.

Sampai di pelataran rumah, netraku melebar dan tidak jadi marah, sebab manusia yang di maksud adalah orang yang dirindukan.

"Arum!" Pemuda itu melambaikan hastanya kearahku.

Mungkin karena senang, aku memeluknya tanpa sadar.

"Aduh." Ia sedikit meringis kesakitan ketika daksaku menabraknya cukup keras. "Rum ... kamu gak apa-apa?"

"Apa kamu begitu merindukanku sampai meluknya erat gini?" Aku melepas pelukan itu karena sadar dari ucapannya, sembari sedikit menangis.

"Kamu nangis?"

"Pakai bertanya, kamu tidak lihat?" Kesalku.

Ia tertawa. "Ternyata gadisku merindukanku."

Aku memukul lengannya. "Apa maksudmu? Percaya diri sekali."

"Lalu apa artinya tindakan tadi? Langsung memelukku dan menjatuhkan barang belanjaanmu di depan begitu saja." Harsa mengarahkan aksanya kearah beberapa barang yang keluar dari kantung plastik yang aku jatuhkan.

Aku mengikis jarak darinya, dan mengambil barang-barang itu.

"Duduklah," titahku.

Ia menurut, sedang diriku masuk untuk menghidangkan sesuatu, sembari menghilangkan rasa malu.

"Maaf, ya? Adanya cuma air."

"Tidak apa."

"Kapan kamu kembali?"

"Tadi siang."

"Lalu, kenapa langsung kemari bukannya besok saja?"

Harsa meminum airnya dahulu sebelum berujar. "Aku tidak ada waktu buat esok, untungnya hari ini aku langsung datang, jadi bisa mendapatkan pelukan setelah sebulan lalu. Jika besok kita bertemu di sekolah, mana mungkin aku mendapatkan ini, 'kan?" Aku mendelik dan memukul lengannya lagi, buat aku malu saja.

"Dasar!"

"Aduh, tapi benar, 'kan?" Aku mengiyakan, tapi dalam hati. Itu memalukan, tanpa sadar begitu saja aku memeluknya, bahkan hingga barang-barangku jatuh saking senangnya.

Pula dengan aku yang menabrak daksanya cukup kuat hingga Harsa meringis, sudah bisa di tebak betapa bahagianya aku. Tidak sampai di situ, air mataku saja juga ikut keluar. Sudahlah, itu terlalu memalukan untuk diakui.

"Aku minta maaf, karena memelukmu sampai kesakitan karena tubuhku menabrakmu."

"Tidak apa, rasa sakitnya sudah hilang karena hangat darimu," ujarnya.

𝗞𝗼𝘁𝗮 𝗞𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang