二十 DUAPULUH ─ Bumi Jawa dan Pernak-Perniknya

18 1 0
                                    

Hari ini tepat setelah melewati subuh, mataku sudah menjelajahi halaman belakang rumah Harsa, dan tepat pada hari ini pula aku sudah memijak tanah Jawa ini selama empat hari lamanya.

Kata Harsa sih hari ini ia berencana untuk mengajakku pergi lagi, mencari ikan di sungai katanya.

Jika dilihat kembali, disekitar rumah pemuda ini memang banyak sungai yang mengalir indah. Airnya jernih dan ada yang sedikit surut ataupun deras.

Di halaman belakang rumah, aku sibuk menatap puluhan bunga. Sebelum pemuda itu mengajakku pergi nanti.

Ibu Harsa juga berada disana. Ia memetik beberapa bunga untuk dijadikan vas.

Selama aku disini, ia selalu menjagaku seperti anaknya sendiri, orangnya ramah dan gemar tersenyum. Begitu pula dengan sang ayah, tetapi ia jarang berada dirumah.

Esok adalah hari terakhir aku berada disini, karena seperti janjiku kepada ayah. Aku akan kembali ke Ibu Kota setelah lima hari berada di bumi Jawa.

Jadi, untuk menghabiskan sisa waktu. Aku ingin menjelajahi tempat-tempat yang belum aku ketahui.

Tok tok tok

Pintu terketuk dan ketika aku menoleh, disana ada Harsa.

Ia menyapa, "pagi, Arumi. Sudah siap?"

"Sudah dong!" Sahutku semangat.

Aku menghampirinya mendekati pintu.

"Oke. Tapi kita gak bakal jauh-jauh dari rumah kok, alasannya biar gak buang-buang tenaga. Gimana?"

"Boleh, boleh."

Pemuda itu tersenyum seperti biasa dan menggapai hastaku. "Ayo."

Harsa rupanya lebih memilih menaiki sepeda daripada berjalan kaki untuk menuju sungai terdekat. Katanya, enakan pakai sepeda dan aku menurutinya saja.

Setelah berpamitan, pemuda itu kini bersiap untuk mengayuhkan si sepeda kesayangan.

"Pegangan, takut terjengkang nanti kalau aku kayuh kencang-kencang," katanya.

Aku meliriknya. "Ya gausah kencang-kencang makanya kalau takut aku terjengkang, kamu ini." Sang pemuda terkekeh.

"Iya, tapi apa salahnya pegangan? Memang kamu bisa menjaga keseimbangan kamu sendiri?"

"Kan aku bisa pegangan tanpa harus berpegangan padamu, Harsa."

Baiklah, Harsa menyerah kepada gadis ini. "Ya sudah, aku mulai ya?"

Kemudian, dikayuhnya sepeda itu secara perlahan dengan kecepatan yang selalu ditambah, hingga saat sudah mulai menjauhi rumah, Harsa tiba-tiba memberhentikan sepeda itu tanpa aba-aba, membuatku reflek memeluk pinggangnya.

Aku berdecak dan memukuli punggungnya pelan. "Ck! Harsa! Iseng banget sih."

Pemuda Agnarian tersebut justru tertawa kencang, memang tidak ada rasa bersalahnya.

"Maaf, ya? Aku cuma mau ngetes remnya apakah masih berfungsi atau tidak," sahutnya.

Aku memutarkan netra. "Omong kosong. Lagi sekali kamu iseng, aku aduin ke bunda kamu."

Harsa hanya mengelus dada. "Kamu apa-apa ke bunda, ya? Sebenarnya buah hatinya itu kamu apa aku sih kalau sudah begini?"

Aku hanya tersenyum. "Untuk sekarang, mungkin aku."

"Dih, enak banget? Aku yang sebagai anak kandungnya sekarang jadi tidak dianggap," singgung Harsa, aku tertawa.

"Bisa tersinggung juga, ya?" godaku.

𝗞𝗼𝘁𝗮 𝗞𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang