TIGA ─ Sebab Rinaian Sang Hujan

69 13 0
                                    

"Karena aku ingin menemanimu terlebih dahulu, setelah kamu pulang, aku juga akan pulang." 

Setelah kata itu selesai di katakan, ku tertegun, mencoba mencerna maksud kata yang baru saja diujarkan.

Lantas, ia hanya terkekeh pelan. "Sudah, sana pulang. Sudah di tungguin tuh di bawah pohon."

"Y-yasudah, aku pulang dulu."

"Baiklah, selamat tinggal, Arum," ia melambaikan hastanya kearahku yang sudah semakin menjauh darinya.

"Selama─ eh? tunggu, darimana kamu tahu namaku? kita belum berkenalan 'kan?!" aku berteriak, terkejut karena ia mengetahui namaku bahkan sebelum kita berkenalan.

Saat dikelas, aku belum sempat mengenalkan namaku kepadanya dikarenakan bel yang berbunyi terlebih dahulu.

Si tuan hanya tersenyum tanpa menjawab dan segera menghilang dari posisi kita terduduk tadi. Ku menautkan alis, bingung dengan remaja itu.

Lalu, sang kakak memegangi bahuku, membuyarkan semua lamunanku terhadap lelaki itu.

"Hey, mau pulang gak? malah bengong."

Aku mengerjap tiga kali lalu mengangguk. Menaiki motor sang kakak yang bersiap untuk membelah jalanan kota yang padat.

"Itu siapa, Dek? deket banget perasaan." Saat sibuk menatap ramainya jalanan kota, taruna yang sering di panggil Rangga itu bertanya, membuat atensiku beralih ke arahnya.

"Itu murid baru."

"Oh ya? Kakak lihat kamu sama dia udah akrab banget, kirain teman lama."

"Loh? Kakak lihat aku sama dia bicara-bicara tadi? berarti kakak udah lama dong nunggunya?"

Si tuan yang di tanya tertawa dan kembali berujar, "iya, kakak lihat kamu ketawa-ketawa sama dia, seperti dunia ini milik kalian berdua tahu tidak?"

Aku mencebik dan memukul lengannya. "Ish, kak Rangga." Sang empu yang diberlakukan seperti itu hanya terkekeh.

"Oh iya, semalam kamu tidur di meja belajar, ya?" tanyanya.

"Iya, kok tau? jangan-jangan kakak yang mindahin aku lagi."

"Emang iya, gak enak lihat kamu seperti itu, takut pinggangnya sakit. Jadi ya kakak pindahin." Aku hanya menunduk, memainkan jari jemari saat ia berceritera.

"... semalam kamu nangis lagi?" ia melontarkan pertanyaan lagi, dengan netra yang masih terfokus pada jalanan kota.

Sempat terdiam selama beberapa detik, lalu berbicara. "I-iya, mungkin karena itu aku sampai tertidur di meja belajar."

Setelah mengatakan itu, ia tidak menjawabku kembali. Memfokuskan diri terhadap jalanan kota dengan diriku yang menatap sang nabastala yang terlihat elok dengan jingganya yang semakin gelap.

* * *

"Jangan nangis lagi nanti malam, Ibu akan sedih jika melihatmu terus nangis. Itu sudah rencana Tuhan untuk membawa Ibu pulang kembali, itu bukan salah siapa-siapa." Ucapan itu terlontarkan begitu saja disaat kami sudah sampai dirumah.

Hastanya bergerak, meraih helm yang kuberi dan menyentuh suraiku yang tampak berantakan karena helm yang terlepas dari kepalaku.

"Iya."

"Kakak akan nemenin kamu nanti malam, belajar untuk melepaskan kepergian. Jika tidak diikhlaskan, baik Ibu maupun kamu tidak akan tenang, mengerti?" hastanya turun, memegangi bahuku dan menampakan senyumnya.

Aku hanya mengangguk lemas untuk perkataannya.

"Yasudah, yuk masuk." Tungkainya bergerak yang diikuti olehku, memasuki pintu rumah yang berwarna coklat dengan sedikit bercak. Meninggalkan halaman rumah yang sepi.

𝗞𝗼𝘁𝗮 𝗞𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang