十七 TUJUHBELAS ─ Padang Mentari

29 3 0
                                    

    "Berjalan-jalan sembari melihat mentari terbit, mau tidak?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berjalan-jalan sembari melihat mentari terbit, mau tidak?"

Subuh tadi setelah menyelesaikan ibadah, remaja itu menelfon, mengajakku pergi untuk melihat fajar katanya.

Aku mengiyakan, sebab tidak sering juga memandang awal mentari terbit bersama orang lain.

Ayah sudah mengizinkan, lagi pula ia tahu jika sang anak dekat dengan lelaki itu. Hanya saja ia sedikit berpesan kalau mau bermain lebih jauh, harus izin lagi dan tidak pulang telat.

Ia hanya mengajak berjalan-jalan di sekitar komplek saja, mungkin sampai ke taman pula. Jadi tidak jauh dari rumah.

"Sudah?"

"Iya, ayo."

Berjalan di dekat rumah memang menyenangkan, suasananya tidak terlalu sunyi, sebab ada beberapa insan sudah mulai bekerja atau hanya sekadar berolahraga. Bahkan beberapa anak kecil tampak sudah segar.

Harsa terlihat sangat ramah, menyapa semuanya dengan kurva manisnya.

"Kamu tidak membawa jaket?" Harsa beralih bertanya kepadaku.

Aku menggeleng. "Tidak."

"Apa tidak kedinginan?"

"Tidak."

Awalnya, si pemuda mengiyakan dan tetap berjalan, tapi ketika hastaku mengusap lengan sejemang. Ia mengambil tindakan, padahal dari awal sudah dikatakan.

"Harsa, aku tidak kedinginan."

"Pakai saja, kalau kamu sakit, takut lama tidak berjumpa nanti." Aku diam sebab paham akan ucapan sang tuan.

Ini masih pagi, tapi pipi sudah panas seperti terpapar sinar baskara tengah hari. Aku tidak habis pikir.

"Jika boleh, aku ingin mengajakmu melihat kampung halaman bersama." Harsa berucap tanpa memandangku.

"Maksudmu, aku ikut ke kampungmu?"

"Iya, tapi itupun kalau boleh. Aku hanya mengungkapkannya saja." Ia hanya menatap tungkainya yang sedang melangkah ketika berbicara.

Manik ku membinar. "Aku mau!" Semangatku.

Kedua insan itu berhenti dan saling menatap. "Kamu ... mau?" Harsa bertanya, aku mengangguk lagi untuk memastikan.

Ia tersenyum. "Baiklah, aku akan mengajakmu nanti, tapi harus mengantongi izin."

"Siap!" Lalu, keduanya kembali membuat tapak.

* * *

"Duduk di sini saja dulu, sambil menunggu." Harsa menepuk sisi sampingnya, menyuruhku duduk sembari menunggu bagaskara menyapa.

𝗞𝗼𝘁𝗮 𝗞𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang