[Audrey Sophia Dall]
Audrey bangun dengan sebuah warna hitam melingkari bawah matanya. Semalam ia sulit tidur karena masih geram dengan drama Barbie dan Ken.
Ia jadi menyesal mengerjakan tugas di kafe semalam. Jika saja ia membawa pulang tugas kuliahnya dan mengerjakannya di rumah, ia takkan melalui drama Barbie yang sengaja menumpahkan kopi ke iPad-nya hanya karena dia cemburu. Sangat kekanak-kanakan sekali, bukan?
Lagi pula, untuk apa sih Alex membawa kekasihnya ke kafenya? Jika ingin memamerkan kekasih barunya, mengapa ia tidak melakukannya dari dulu? Mengapa harus sekarang?
Cukup untuk pikiran sulitnya pagi ini. Audrey tak mau ambil pusing. Dengan segera menyibak selimutnya, bergegas mencuci muka dan sikat gigi. Lalu setelaahnya, ia akan sarapan pagi bersama kedua orangtuanya yang mana sudah menjadi rutinitas keluarganya di pagi hari.
Usai berpakaian, Audrey turun ke lantai bawah dengan tidak sabar. Ia penasaran, apakah sarapan akan dimasak oleh ayah atau ibunya, ya? Keluarga Dall memang terkenal dengan karier mereka yang menggeluti bidang kuliner.
Ayahnya adalah mantan koki yang sekarang telah menjadi pebisnis restoran. Dia telah mengelola seluruh restoran hotel The Raymond Suite. Berbeda dengan ibunya yang tidak pernah sekolah kuliner namun ia adalah seorang food blogger yang memiliki lebih dari satu juta pengikut.
Saat tangga terakhir ia lewati, Audrey bisa melihat ayahnya sedang sibuk memasak. Audrey langsung mengeluh bosan. Meskipun ayahnya adalah seorang koki profesional, entah mengapa masakan ibunya selalu yang paling juara.
Audrey menarik kursi meja makan. Deritan kaki kursi yang mengenai lantai membuat Brian Dall menoleh. "Hei, Pumpkin!" seru Brian, ayahnya. Panggilan pumpkin sudah menjadi label untuk Audrey karena anak perempuan semata wayangnya menyukai segala makanan yang berbahan dasar labu.
"Pagi, Dad!"
"Pagi juga!" sapanya balik sambil mengaduk-aduk sup yang ada dalam panci.
Lalu seseorang mengelus bahu Audrey. "Bagaimana tidurmu, Sayang?"
Audrey menoleh dan melihat ibunya, Julia Dall, sudah rapi dan riasan wajah yang natural. "Cukup nyenyak," jawab Audrey berbohong karena ia baru bisa tidur jam satu pagi. Untungnya Julia tidak mencurigai concealer yang melapisi kantung mata Audrey.
"Sup labu sudah jadi!" seru Brian sambil membawa tiga mangkuk berisi sup berwarna oranye itu. Sup labu memang pas dinikmati selagi hujan gerimis seperti ini. Audrey menatap pintu kaca yang menghadap taman belakang rumah mereka yang luas. Gerimis kali ini tidak terlalu buruk namun suhu di luar pasti dingin. Bersama dengan suara gerimis, rutinitas sarapan pagi pun dimulai.
Biasanya di tengah sarapan, selalu ada topik menarik yang akan dibahas bersama, seperti berita terkini atau sekedar membahas kegiatan masing-masing dari mereka. Namun entah mengapa, topik kali ini membuat Audrey enggan untuk menelan sup labu yang padahal merupakan favoritnya.
"Besok kita sama-sama membersihkan kamar kakakmu, ya. Kau tidak ada kuliah kan besok?" tanya Julia sambil menatap Audrey.
Saat itu juga Brian menaruh sendoknya di mangkuk dengan sedikit tekanan hingga membuatnya berdenting cukup keras. Itu adalah kode saat topik harus dihentikan. Namun mimik wajah Julia tampak menghiraukan suaminya dan kembali memandang Audrey.
"Umm, aku tidak ada kuliah, Mom," angguk Audrey dengan raut ragu karena ayahnya sudah memandanginya dengan tatapan lemah, enggan untuk membahas. Namun ibunya justru memasang mata berbinar seolah menginginkan Audrey tetap pada topik ini.
Julia tersenyum lembut. "Oke, bagus. Sudah satu bulan dan pasti kamarnya sudah berdebu."
Ibunya benar, sudah satu bulan tidak memberihkan kamar kakaknya karena Julia sedang sibuk menjadi panitia perkumpulan blogger tahun ini. Biasanya mereka akan membersihkan kamar Stephen satu minggu sekali. Meski begitu, hal ini tidak normal. Audrey yakin ayahnya juga sependapat dengannya. Untuk apa membersihkan kamar yang tak berpenghuni itu?
Audrey kemudian melanjutkan makannya namun dengan kepala sedikit tertunduk. Ia tahu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Brian dengan lembut memegang tangan Julia. "Honey, ini sudah dua tahun berlalu. Apa tidak sebaiknya kita—"
"Tidak!" seru Julia memotong dengan tegas. "Menyumbangkan barang-barang Stephen? Tentu tidak! Itu bukan hak kita. Itu hak Stephen."
"Aku paham. Namun jika kau masih seperti ini, dia takkan tenang di sana," jelas Brian lagi, mencoba untuk sabar.
Julia kini menaruh sendoknya dengan kasar di mangkuk. "Dari mana kau tahu dia bisa tenang? Aku ini Ibunya, dan aku tidak tenang ditinggal olehnya. Apakah kau tidak merindukannya, Brian?"
Ini benar-benar kode keras jika ibunya sudah memanggil ayahnya dengan nama. Rasanya Audrey ingin buru-buru menghabiskan supnya dan pergi dari perbincangan hebat ini. Sayangnya, ia makan belum ada setengahnya.
"Tentu saja aku merindukannnya karena aku adalah ayahnya," ujar Brian yang masih mencoba untuk tenang.
"Tapi kau tidak pernah menunjukkannya." Kali ini suara Julia mulai lebih meninggi. Ini akan menjadi semakin lebih buruk. Setiap kali menyendokkan supnya, Audrey terus berdoa agar terjadi sesuatu yang menghentikkan mereka.
Lalu seorang maid datang menghampiri meja makan. Semesta benar-benar mendengar permintaan Audrey rupanya! Percakapan kedua orangtuanya jadi terhenti saat itu juga. "Ada paket untuk Nona Audrey," kata maid sambil memberikan kotak yang dikemas cantik dengan pita kepada Audrey.
Dahi Audrey berkerut heran memandang kotak manis itu. Julia juga mendelik dan kini memasang senyum jahil. "Dari Alex Osbert, ya?" tanya Julia.
Bibir Audrey kini mengerucut. "Kata siapa?"
"Itu ada tulisan Osbert," tunjuk Julia pada kartu nama yang tertempel pada sisi kotak bagian depan.
Audrey pun buru-buru memutar kotak dan benar saja ada tulisan Osbert. "Mom, ini dari Hailexa Osbert," katanya berbohong, padahal ia sebenarnya yakin ini dari Alex. Mengapa? Karena kembaran Alex, Hailexa Osbert, takkan pernah memberikan hadiah dengan cara seperti ini. Hailexa pasti selalu memberinya hadiah dengan bertemu langsung.
"Oh, aku pikir dari Alex," kekeh Julia.
Audrey memutar bola matanya. Andai saja Julia tahu seperti apa sifat asli Alex yang sebenarnya. Dia pasti tidak akan mencomblangkan anaknya dengan Alex. Wajar saja. Ayahnya yang mengelola seluruh restoran yang ada di hotel The Raymond Suite, milik ayah Alex Osbert.
"Apakah itu hadiah ulang tahun dari Alex?" tanya Brian dengan senyum jahil.
"Dad, ulang tahunku masih minggu depan. Dan sekali lagi, ini bukan dari Alex," gerutu Audrey.
Brian mengangkat kedua tangannya. "Baiklah, aku akan berhenti bertanya."
Kemudian Audrey buru-buru menghabiskan makanan dan setelahnya pergi ke kamar untuk membuka kotak itu. Setibanya di kamar, mata Audrey membelalak penuh dengan apa yang ada dalam kotak. Alex memberinya iPad terbaru untuknya dan bahkan ini versi terbaru.
Dasar pria sombong. Dia pikir bisa mengembalikan hatiku dengan barang-barang yang selaluia berikan kepadaku? geram Audrey dalam hati.
Sudah berpuluh-puluh kali ia menolak barang pemberian dari Alex yang ia yakini sebagai sebuha sogokan. Tanpa pikir panjang, Audrey pun bergegas mengambil kunci mobil dan pergi untuk menyingkirkan iPad pemberian dari Alex itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The List of His Parade Girl
RomanceThe OSBERT Mini Series COMPLETED! ⚠️Namun belum direvisi baik secara plot maupun typo⚠️ ⚠️ +18 | Strong Language, Steamy --- "Alex Fucking Osbert! Aku takkan pernah memaafkanmu. Sekalipun kau adalah saudara kembar dari sahabatku. Sekalipun kau adala...