AD II

18K 1.9K 79
                                    

Nabila semakin meringkuk ketika dingin mulai menyengat tulangnya, sangat ngilu.

Dibukanya mata perlahan, menatap jam dinding dengan mata berat karena semalam ia sangat puas menangis.

04.00

Gadis itu mengubah posisinya menjadi duduk, menatap ranjang yang berada tidak jauh darinya. Sunghoon, lelaki itu sudah menggulung dirinya di dalam selimut tebal.

Nabila tersenyum nanar, meratapi nasibnya yang tidak dianggap, dia menjadi tidak yakin untuk menjalani hari-hari kedepannya.

Berjalan dengan kaki telanjangnya, telapak kaki itu bersentuhan langsung dengan lantai yang dingin, mendekati nakas untuk mengambil remote berniat mematikan kotak persegi panjang yang mengeluarkan udara dingin diatas sana.

Nabila keluar dari kamar 'mereka', berjalan kearah dapur berharap dapat membasahi tenggorokannya dengan air hangat. Ia duduk di meja pantry, kembali memikirkan nasibnya, apa yang baru saja dialaminya, membuat bulir bening itu kembali membasahi pipinya.

Nabila membalikkan kursinya, menatap seluruh ruangan yang tertangkap objek pandangnya. Sunyi, gelap, itu yang ia rasakan, tidak pernah menyangka begini jadinya.

Nabila juga seperti perempuan pada umumnya, memimpikan rumah tangga yang harmonis, saling mencintai dengan sang suami, memiliki anak-anak sebagai bagian dari jiwanya.

Nabila benci dirinya yang cengeng, tapi sungguh, ini semua sangat menyakitkan baginya.

.

.

.

Nasi goreng, itulah yang kini Nabila sajikan di meja makan, ia makan terlebih dahulu agar tidak bersamaan dengan suaminya yang dari tadi belum keluar kamar.

Sekarang sudah pukul 07.00 pagi, dan satu jam lagi Nabila harus sampai di kampusnya. Ia bingung, harus izin dengan suaminya atau tidak.

Tak lama seorang lelaki dengan keadaan yang sudah rapi mendekati meja makan sambil meninting ranselnya. Tidak rewel, apalagi bertanya, Sunghoon memakan nasi goreng buatan Nabila dengan tenang, bahkan lelaki itu tidak melirik orang yang sudah memasak makanan yang masuk kedalam mulutnya itu.

Nabila menjadi gugup, padahal kalimat yang dia keluarkan bukanlah apa-apa, hanya sekedar meminta izin untuk tetap berkuliah demi kelanjutan pendidikannya.

"S-sunghoon.."panggil Nabila, sangat halus jika ditangkap oleh pendengaran.

Lelaki itu meliriknya sekilas, tanpa menguarkan suara ia melanjutkan sarapannya dan percayalah, kini Nabila sudah meremat celana jeans-nya sanking gugupnya perempuan itu.

"G-gue boleh tetep kuliah gak? T-tapi kalau gaboleh juga gapapa kok, gue ngurus rumah aja"Nabila melanjutkan kalimatnya, dari pada istri yang meminta izin, kalimat itu lebih terdengar seperti pembantu yang meminta izin kepada majikannya.

Sunghoon tidak merespon kalimat yang keluar dari bibir Nabila, membuat gadis itu mengulum bibirnya kedalam.

Ketika sudah menyelesaikan sarapannya, Sunghoon menyampirkan ranselnya di pundak lalu bangkit dari duduknya dan pergi dari sana, tapi sebelum itu

"Gue gak pernah larang lo kan? Kalau mau kuliah ya tinggal kuliah, gak usah izin seakan-akan gue suami lo"

Lagi-lagi Nabila tersenyum kecut, menatap nanar kepergian lelaki yang belum sehari menyandang status sebagai suaminya. Air mata itu kembali turun, tapi dengan cepat ia menyekanya.

Bayangkan saja, kalian yang sedang belajar di dalam kamar, tiba-tiba diseret pergi ntah kerumah siapa, dipaksa menikahi lelaki asing yang mungkin kedepannya akan tetap orang asing bagi Nabila.

Drtt drtt

Suara ponsel menyadarkan Nabila dari lamunan, dia merogoh saku jeans-nya, alisnya sontak bertaut melihat nomor asing yang tertampil dilayar.

"Halo?"

"Ini Nabila kan? Nabila agatha?"

"Ya saya sendiri.. Ini siapa ya?"

"Nak nabila, ini mama Sunghoon.."

Ucap orang disebrang sana membuat Nabila membulatkan matanya, hampir saja benda pipih itu terlempar dari jangkauannya.

"Tante Reta? Maaf ya tan aku gatau"raut bersalah tercetak diwajah Nabila, bisa-bisanya ia tidak mengenali suara mertua 13 jam-nya itu.

Orang disebrang sana terkekeh "Gapapa nak... Oiya, sekarang kamu ada kegiatan? Bisa kerumah tante?"

Nabila membatu, haruskah dia mengatakan bahwa dirinya masih melanjutkan kuliah walaupun sudah bersuami? Apakah mertuanya tidak akan tersinggung?

"Emm... U-untuk sekarang gabisa tante.."jawab Nabila, maaf tan.. Sambungnya membatin.

Terdengar nada kecewa disebrang sana "Kalau sore bisa?" tanya Margareta, lagi.

"Bisa tan.."

"Sore ini kerumah tante ya?"

Rasanya, Nabila ingin bertanya 'Kenapa? Ada apa? Ngapain?' tapi dirinya tidak ingin di-cap sebagai menantu kurang ajar yang banyak tanya.

"I-iya tan.."

"Oke tante tunggu yaa? Sampai jumpa cantik.."

Itu kalimat terakhir sebelum sambungan telepon diputus sepihak,
Nabila masih menatap layar ponselnya. Dia memang kesepian, takut, merasa tidak dianggap, tapi setidaknya ia merasa sedikit bersyukur karena memiliki mertua seperti Margareta.

Semoga saja itu merupakan hal yang baik.













Tbc...

A DESTINY || PARK SUNGHOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang