00.06 ; cast a mantra

3.6K 316 15
                                    

Akhirnya siang itu mereka memilih untuk makan siang di sebuah restoran Jepang yang masih dekat dengan apartemen Ahra—selain karena dekat, juga karena hujan deras yang tiba-tiba mengguyur kota Seoul. Dan Tuan Sehun sesegera mungkin mencari tempat untuk mereka menghangatkan diri.

Kedua netra bulat Ahra menatap dengan takjub saat semangkuk ramen yang masih mengepul panas dihidangkan di hadapannya. Ahra tidak ingat kapan terakhir kali dia makan ramen sungguhan—kalau ramen kemasan sih, Ahra masih punya banyak stok di apartemennya saat ini.

"Ayo, dimakan Ahra," Tuan Sehun tiba-tiba bersuara, membuat Ahra sedikit melonjak terkejut, tetapi kemudian tersenyum dan mengangguk pada pria itu.

Ahra mulai mengambil sendok yang berada tepat di samping mangkok ramennya, menyendok kuah kaldunya yang kental dan kaya akan cita rasa, kemudian mendekatkan benda itu ke mulutnya. Bergumam pelan saat merasakan betapa nikmatnya kuah hangat dan sedikit pedas itu di mulutnya.

Tuan Sehun tergelak kecil melihat tingkah gadis itu. Dia masih mengunyah donburi miliknya dengan khidmat sementara memperhatikan tingkah Ahra yang menurutnya begitu menggemaskan.

"Jadi, Ahra," Sehun kembali membuka suaranya setelah beberapa saat berlalu. Ahra kelihatannya sudah tidak terlalu tegang seperti tadi setelah mulai menikmati makan siangnya.

Ahra mengangkat pandangannya sesaat, mencoba mengunyah makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya dengan tenang, sementara menunggu apa yang akan Tuan Sehun katakan kepada dirinya.

"Sebenarnya alasanku datang menemuimu kembali adalah karena suatu hal," pria itu memulai ucapannya, mangkuknya kini sudah tandas tak bersisa, membuat Ahra sesaat menatap takjub karena Tuan Sehun bisa makan begitu cepat dengan tenang.

"Kau tahu.. lukisanmu, meski aku sudah pernah mengatakannya, tetapi aku memang benar-benar menyukainya," Tuan Sehun tersenyum kecil, membuat pipi Ahra memerah karena tersipu.

"Ah, sekali lagi.. terimakasih Tuan," gadis itu mengangguk sesaat pada Tuan Sehun kembali, membuat pria itu kembali terkekeh.

"Jadi.. sebenarnya, aku memiliki sebuah galeri seni yang cukup besar, dan eum.. aku meletakkan semua koleksiku disana, kau tahu. Tetapi," Tuan Sehun terhenti sesaat, menatap Ahra tepat di kedua matanya, "Aku memerlukan seseorang untuk menempati tempat itu, rumahku sendiri sebenarnya tidak terlalu jauh dari sana, tapi aku pikir memiliki seseorang yang mengerti soal seni dan nilai dari barang koleksiku akan membantu sekali untuk membuatku tidur nyenyak saat malam hari," pria itu sedikit tergelak di akhir kalimatnya, dan Ahra yang masih mendengarkan pria itu berbicara sepertinya mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini menuju.

"Saat aku melihat karyamu, nona Choi.. aku tahu kau adalah gadis yang cerdas dan kreatif, dan benar-benar memiliki passion di bidang seni. Aku bisa melihat bagaimana berkelasnya seleramu pada seni rupa. Dan aku pikir, ya, kau pastinya adalah seseorang yang benar-benar menghargai sebuah karya seni," Tuan Sehun tersenyum kecil kembali dan menatap pada Ahra, "Aku ingin memintamu untuk menempati galeri seniku—tinggal disana, lebih tepatnya."

Ahra sesaat terdiam dengan mulut sedikit terbuka—terpana, sepertinya. Tidak mempercayai apa yang baru saja Sehun ucapkan pada dirinya.

"A—apakah anda.. apakah serius, Tuan?" gadis itu akhirnya membuka suara, membuat Tuan Sehun di hadapannya kembali tergelak rendah.

"Nona Choi, untuk apa aku jauh-jauh datang ke apartemenmu kalau aku tidak serius?" katanya.

Ahra terlihat kebingungan sesaat, tidak yakin harus menjawab apa.

Ini adalah kesempatan yang bagus, tentu. Tetapi.. Ahra tidak merasa dia cukup pantas untuk bisa mendapatkan kehormatan sebesar itu. Menjaga sebuah galeri seni..? Bagaimana kalau Tuan Sehun nanti kecewa padanya kalau ternyata Ahra tidak sehebat yang dia pikirkan?

Céleste • osh [ R/18+ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang