00.11 ; drowsy

2.8K 280 53
                                    

Suara garpu dan sendok yang berdentingan dengan piring porselen selanjutnya mengisi kehampaan di dalam ruangan. Ahra dan Sehun, keduanya memilih untuk fokus pada makanan diatas piring mereka masing-masing.

Merasa sedikit canggung, pria itu akhirnya memutuskan untuk membuka suara, "Kau sudah mengabari keluargamu bukan, Ahra? Soal kepindahanmu kesini?"

Gadis di hadapannya itu segera menatap Sehun, sedikit terperanjat dengan kalimat pertanyaan yang dilayangkan oleh pria itu.

Menggigit bibirnya kembali, Ahra menjawab lambat-lambat, "Eum.. sebenarnya, papa saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena komplikasi dan sakit jantung, dan mama.. mama sudah menikah lagi, dan kami sekarang jadi tidak terlalu dekat karena mama sudah punya keluarga baru. Tapi.. saya sudah memberinya kabar, dan saya juga sudah memberinya alamat Etérea. Siapa tahu nanti mama ingin berkunjung kesini."

Yang mana, tidak mungkin. Karena Ahra sendiri juga tidak yakin bahwa mamanya bahkan masih menganggap dirinya sebagai putrinya.

Sehun tersenyum simpul mendengar penjelasan Ahra. Dengan lembut, pria itu meraih tangan Ahra yang berada di atas meja dan mengusapnya, mencoba menenangkan.

"I'm so sorry for your loss, sweetheart."

Pipi Ahra sempat memerah sesaat menyadari apa yang pria itu lakukan. Dia akhirnya hanya bisa mengangguk pelan, "Terimakasih, Sehun."

Sehun tersenyum, menatap piringnya kembali dan melanjutkan aktivitasnya. Merasa dirinya juga perlu berbasa-basi, Ahra akhirnya ikut melayangkan kalimat, "Sebenarnya saya juga sangat ingin bertemu dengan keluarga anda, Tuan Sehun. Saya yakin anak-anak anda pasti begitu menawan dan baik hati seperti anda," katanya.

Ahra hanya mengarang, dan menggunakan instingnya—yang biasanya benar, untuk menebak. Lagipula, pria seusia Sehun biasanya memang sudah berkeluarga—apalagi melihat bagaimana rupawannya pria itu, juga kekayaan yang dimilikinya, juga kebaikan hatinya? Ahra yakin wanita manapun pasti akan jatuh hati dengan pria itu.

Kalimat Ahra membuat Sehun melepaskan sebuah tawa rendah. Mengangkat kembali pandangannya pada gadis itu, dia menjawab sembari menatap tepat di kedua netra Ahra, "Aku.. memang sudah pernah menikah, tapi karena satu dan lain hal, kami memutuskan untuk bercerai. Dan.. aku juga belum memiliki anak dari pernikahan itu," jawabnya, membuat Ahra, lagi-lagi kembali bersemu merah kedua pipinya karena Sehun memusatkan perhatian penuh pada dirinya.

Jadi.. Tuan Oh Sehun adalah seorang Duda?

"Ah.. begitu."

Ahra harus menjawab apa?

"Syukurlah"? Atau dia juga harus merasa sedih karena kegagalan rumah tangga Sehun? Ahra jadi bingung sendiri.

"Ah iya, Ahra. Aku lupa menyampaikan kalau aku juga memiliki ruangan kerja di sini. Ruangan yang berada di sudut sana itu, itu adalah ruanganku. Jadi.. kau tidak perlu terkejut kalau sering meilhatku lebih banyak berada disini dibandingkan dengan rumahku sendiri," Sehun kembali berucap, tersenyum, kemudian menyuapkan meatballs yang sudah dia potong kecil-kecil ke dalam mulutnya.

Pias warna merah mudah belum hilang dari kedua sisi pipi Ahra, dan gadis itu hanya mengangguk mengerti.

"Oh iya, Ahra. Apakah.. kau juga bekerja? Karena aku lihat kau ini benar-benar seorang pekerja keras," Sehun kembali memusatkan fokusnya pada makanan di depannya, membuat Ahra yang masih salah tingkah jadi kembali tersenyum kecil.

"Saya.. sebenarnya saya juga memiliki penghasilan sendiri, tapi.. saya tidak bekerja," Ahra sedikit tertawa saat melihat Sehun menatapnya kembali dengan alis terpaut tidak mengerti.

"Sebenarnya selain melukis di atas kanvas saya juga biasanya menggambar menggunakan alat digital. Banyak orang yang menyukai gaya yang saya pakai di gambar-gambar itu, jadi terkadang ada beberapa orang yang meminta saya untuk menggambar potret mereka dengan gaya lukisan saya," Ahra menjawab dengan tenang, percaya diri. Memang benar adanya, bahkan beberapa teman-teman sekelasnya mau membayar dirinya lebih dari cukup untuk menggambar kembali potret mereka dengan gaya lukisannya.

Hasilnya? Uang dari hasil menggambar orang-orang itu membuat Ahra bisa membeli semua pakaian-pakaian yang Ahra inginkan dan juga menghemat biaya bulanan yang dikirim oleh mamanya.

"Hm, cerdas sekali. Langkah bisnis yang cemerlang," Sehun tersenyum kembali menatap Ahra, membuat gadis itu hanya terkekeh kecil.

"Terimakasih, Sehun."

Tanpa sepengetahuan Ahra, Sehun sedang berencana untuk membelikan gawai yang baru agar keahlian gadis itu bisa semakin meningkat cepat. Bagaimanapun juga, Sehun ingin segalanya yang terbaik untuk Ahra.

"Oh iya, apakah kau ada kelas besok, Ahra?" Sehun kembali bertanya, dan Ahra mengangguk mendengarnya.

"Kelas pagi, sepertinya saya harus berangkat dari setengah jam sebelumnya supaya tidak terlambat," Ahra tergelak kecil, "Saya juga harus mengejar jadwal bus pagi disini," lanjutnya.

"Oh tidak, tidak. Daerah disini sangat sepi, apalagi saat pagi hari. Besok, aku yang akan mengantarkanmu ke kampus, okay? Aku tidak akan mengizinkanmu untuk naik bus sendirian di sini," Sehun kembali berucap, membuat Ahra hendak membuka mulutnya kembali.

Tahu gadis itu akan menolak, Sehun kembali berucap, "Tidak, Nona Choi. Kau tinggal disini, dan kau adalah tanggung jawabku selama itu. Jadi, aku tidak mengizinkanmu untuk berangkat ke kampus sendirian, apalagi menggunakan bus, dan aku yang akan mengantarkanmu ke kampus besok pagi. Mengerti?"

Ahra sempat terdiam sesaat mendengar kalimat pria itu. Perlahan, dengan sedikit tidak yakin, Ahra akhirnya mengangguk mengiyakan kalimat pria itu agar tidak menyakiti hatinya.

Benar juga, Ahra adalah pendatang disini, dan Sehunlah yang memintanya untuk tinggal disini. Jadi seperti kata pria itu, Ahra memang benar adalah tanggung jawabnya sekarang.

"Sudah selesai?" Sehun kembali bertanya setelah meminum air putihnya hingga tandas tak bersisa, membuat Ahra menatap kembali pada piringnya yang sudah kosong dan hanya menyisakan sedikit noda saus tomat disana.

Ternyata dia benar-benar lapar.

Ahra kembali terperanjat saat melihat piringnya diambil oleh Sehun yang sudah bangun dari posisi duduknya.

"Eh—Sehun..?"

Saat pria itu membawa piring kotor mereka ke wastafel cuci piring, barulah Ahra menyadari apa yang akan Sehun lakukan.

"Karena kau sudah berbelanja dan memasak makan malam untukku, jadi aku yang akan mencuci piring kotornya," pria itu kembali berucap, membuat Ahra hanya bisa terdiam sembari menatap punggung lebarnya seperti orang bodoh.

Baru kali ini Ahra melihat ada pria sempurna seperti Tuan Oh Sehun.

Baru kali ini Ahra melihat ada pria sempurna seperti Tuan Oh Sehun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Céleste • osh [ R/18+ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang