Telepon Nasi Padang

296 76 40
                                    

Perkara Cinta ; Telepon Nasi Padang







"AJIIII ADEK ABANGGGGG!" seru Eja begitu panggilannya tersambung.

"Halo, Eja abang Aji."

Dahi Eja seketika mengerut. "Lemes amat. Kurang duit jajan?"

"Iya, tambahin dong, Bang."

"Kirim no rekening, gue kasih bonus spesial karena jadi anak baik seminggu ini."

"Makasih, Bang."

"Kata ibu lo di rumah mulu, nggak kelayapan, nggak berisik," ujarnya mengingat ucapan ibu yang siang tadi memberi kabar.

"Iya."

"Lagi galau?"

"Nggak."

"Ah, masa?"

"Bang Eja kapan pulang?"

Eja terkekeh. "Masih lama. Kangen ya?"

"He'eh, kangen."

Senyuman lebar terbit di wajah Eja. Jarang-jarang adik satu-satunya ini mengaku kangen, biasanya disertai alibi minta uang tambahan.

Sebaris kalimat ledekan untuk menggoda adiknya itu sudah menggantung di ujung lidah, tapi kembali ditelannya begitu mendengar suara aneh dari ujung telepon.

"Ji?! Aji?!" ujarnya beruntun, berusaha memastikan keadaan si penerimaan telepon.

"Aji lo nangis?!" tanya Eja memastikan sekali lagi bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik dan ia nggak salah mendengar suara tangis tertahan. 

Eja terhenyak mendengar suara Aji yang membersit hidung lalu disusul nada sengau dalam suara adiknya itu.

"Halo, Bang?"

"Kenapa, Ji? Cerita sama Abang." Eja mengerjapkan mata berulang kali berusaha menahan lapisan air mata yang menggenang di pelupuk agar tak jatuh menuruni pipi.

Tak ada jawaban apa pun selain suara musik yang disetel semakin kencang, yang lagi-lagi tak bisa menutupi sederet makian dengan suara sumbang yang diucapkan Aji.

Semenit selanjutnya diisi dengan keheningan yang serupa pengertian dalam diam, juga sebentuk rasa rindu yang terlalu pekat untuk diurai hanya melalui sambungan suara.

"Aji capek, Bang," ujar Aji akhirnya memecah keheningan yang semakin lama semakin menyesakkan itu.

Eja menghela napas dalam-dalam. "Ada masalah?"

"Bang Eja dulu kayak gini juga ya?"

"Gini gimana?"

"Capek kuliah, capek ngurusin band, patah hati juga."

Eja mengangguk. Tatapannya terlempar jauh ke langit malam yang begitu gelap tanpa bintang. "Ya gitu, fase hidup, Ji."

"Gimana Bang cara ngelewatinnya?"

"Kalo capek, istirahat dulu, Ji."

"Nggak bisa, Bang, kalo gue istirahat, gue ketinggalan."

Eja paham betul apa yang dimaksud adiknya itu karena ia pun mengalaminya. Takut tertinggal saat teman-temannya yang lain mencapai satu titik tertentu. Takut seluruh cita-cita dan impiannya akan semakin lama dicapai jika ia beristirahat. Takut jika ia gagal memenuhi ekspektasi orang-orang di sekelilingnya.

"Setiap orang punya jalannya masing-masing, Ji. Istirahat sebentar, ketinggalan dikit, bukan berarti lo nggak akan nyampe kan?"

"Tapi apa enaknya nyampe belakangan dan lihat orang-orang udah selesai makan nasi padang?"

"Lo tinggal nyari bakso atau ketoprak atau gado-gado. Apa pun itu yang bikin lo kenyang dan bahagia makannya tanpa harus ngebandingin sama nasi Padang."

Aji terdiam di ujung telepon, begitu juga Eja yang kembali duduk di kursi kayu balkon kamarnya.

"Dulu Abang juga gitu, Ji, lihat kan gimana Abang jaman kuliah? Kuliah molor gara-gara ngurusin band, dihujat sana-sini sama orang-orang, ditambah patah hati juga," kekeh Eja mengingat kenangan beberapa tahun silam.

"Tapi, akhirnya lewat juga kan. Kuliah tetep selesai walaupun molor, band tetep jalan dan bisa sampai sini, sekarang udah nemuin cinta yang baru juga."

"Nggak pa-pa, kalo nggak sama kayak orang lain. Nggak pa-pa. Lo pasti nemuin jalan lo sendiri dan nyampe di tempat yang lo pengen," tambah Eja kemudian.

"Makin dewasa, dunia makin nggak bisa diajak santai ya, Bang?"

Eja menarik napas panjang, kali ini dengan sedikit senyuman. "Dunia lagi ngajak bercanda, ladenin aja, lo kan jagoan."

Tawa Aji terdengar keras di ujung telepon. "Kali ini bercandanya kebangetan, Bang, gue sampe nggak bisa ikut ketawa."

Kini giliran Eja yang tertawa. "Kenapa? Ada masalah apa sebenernya?"

"Inget nggak, Bang, yang gue bilang naksir cewek fakultas sebelah? Ternyata dia udah punya cowok dan tuh cowok temen gue."

"Terus?"

Eja menggeser pintu balkon, merebahkan diri di atas ranjang setelah sebelumnya meraih notes serta pulpen yang berada di nakas. Tangannya bergerak lincah menuliskan sebaris kalimat yang melayang-layang di kepalanya sambil mendengar celoteh Aji di ujung telepon tentang banyak hal.

Tentang hidupnya yang stagnan, tentang hari rabu yang masih saja menyebalkan, tentang perasaan yang Aji kira sudah mati tapi ternyata hanya padam sementara karena ditutupinya dengan tawa, juga tentang luka yang sampai sekarang masih menghantui adiknya itu.

"Sampai kapan gue kayak gini, Bang? Sakitnya masih ada sampe sekarang, padahal udah hampir empat tahun sejak gue putus sama dia."

•×•

Sorry ini terakhir soal Aji wkwkwk sebenernya yang kangen Bang Eja bukan Aji tapi gue :(

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sorry ini terakhir soal Aji wkwkwk sebenernya yang kangen Bang Eja bukan Aji tapi gue :(

Semoga Bang Eja sehat dan makan yang enak serta tidur yang nyenyak
huhuhuhu kangen

Kalian semua juga yaa! Semoga sehat terus, bahagia terusss, makan enak dan tidur nyenyak hihiw

Terimakasih untuk vote dan komentarnya!

Perkara CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang