Kebab milik Mahesa

1K 195 22
                                    

Perkara Cinta; Kebab milik Mahesa

Sebuah vespa matic warna kuning berhenti di depan kedai kebab yang merangkap kafe kecil di sebelahnya. Seorang cowok yang mengendarai kendaraan itu menatap spion sejenak untuk memastikan rambutnya nggak awut-awutan karena helm.

Sepasang kaki berbalut Converse warna hitam kini berdiri di depan kedai dengan pandangan tertuju ke arah ponsel. Kakaknya nitip kebab tadi, jadi sebelum pulang Esa nyempetin ke sini.

"Kebab tiga yang large, pedes dua, yang satu sedang aja. Nggak pake sayur satunya yang pedes."

Mas-mas pemilik kedai yang mencatat pesanan Esa menaikkan alis. Menyadari kalau pesanannya terlalu rumit, Esa memutuskan untuk menuliskan sendiri pesanannya di kertas.

"Atas nama Mahesa ya, mas. Saya nunggu di dalem."

Esa membuka pintu kaca di sebelah meja tempat ia memesan tadi. Sore ini kafe kebab dekat rumahnya nggak terlalu ramai, cuma ada dua orang yang duduk di deretan bangku sofa dekat pilar. Ia memilih duduk di kursi tinggi nggak jauh dari dapur kebab yang dibuat terbuka, untuk berjaga-jaga agar ia nggak terbuai terlalu lama di tempat ini.

Kafe kebab ini selalu jadi tempat favoritnya untuk mengerjakan tugas, selain di rumah atau kampus. Kos-an Kak Ino atau apartemen Bang Ical bukan tempat yang cocok untuk mengerjakan tugas. Suara Aji dan tawa Haris bahkan terdengar dari ujung gang kos-an kak Ino, Esa nggak akan kaget kalau suatu saat nanti tetangga kos-annya akan protes karena keributan mereka pas kumpul.

Jangan kan di dunia nyata, di grup WhatsApp juga mereka nggak kalah berisik. Mereka di sini adalah Aji dan Haris, kadang kak Ino atau bang Ical nimbrung, kadang Jusuf sama Felix ikut-ikutan, dan bang Bayu selalu jadi penengah kalau udah mulai ribut. Tugasnya? Memantau aja sambil senyum-senyum walaupun kadang ia menimpali juga.

Teman-temannya itu emang berisik, tapi kalau nggak ada mereka hidup Esa pasti akan sepi. Ditinggal bang Fazrin ke London aja cukup bikin perbedaan yang begitu terasa buat Esa.

Pintu kafe terbuka, mengalihkan fokus Esa dari obrolan grup chat untuk sejenak. Seorang cewek dengan balutan jaket denim, kaos polos hitam serta totebag itu muncul dari sana, rambut hitam sepundak yang tergerai mengikuti tiap gerakannya.

Seiring dengan petikan gitar dari pemutar musik yang memenuhi seluruh sudut kafe, cewek itu berbalik. Mata mereka bertemu. Bagai anak panah yang meluncur cepat dari busurnya, Esa terjebak. Kedua manik almond itu seolah mengikatnya untuk terus menatapnya.

Cewek itu tersenyum tipis, mengambil duduk nggak jauh dari Esa lalu menyelipkan airpods ke telinga dan mata almond itu kini terfokus pada benda canggih bernama ponsel di tangan.

Esa gelagapan. Logikanya baru saja kembali setelah beberapa saat lalu mengelana di kedalaman mata almond milik cewek yang duduk nggak jauh darinya itu.

"Astaghfirullahaladzim." Esa menggaruk keningnya gugup.

Esa memilih mengalihkan perhatiannya pada grup chat sembilan koefisien lagi. Baru ditinggal sebentar, chat mereka sudah sampai 100.

"Atas nama Mahesa!"

Mendengar namanya dipanggil, Esa buru-buru turun dari duduknya. Keningnya berkerut ketika cewek tadi ikutan bangkit dari duduknya lalu meraih bungkus plastik yang ada di depan meja kasir. Bukan cuma Esa, mas-mas dibalik kasir juga mengerutkan dahi, bingung.

"Berapa, mas?"

"Eh, mbak, maaf," sela Esa berdiri di samping cewek itu.

"Ya?"

Lagi, Esa merasa dunianya berhenti berotasi sekian detik saat matanya bertemu dengan mata almond cewek itu.

"Itu punya saya," ujar Esa kemudian, setelah mengucap istighfar berulang kali dalam hati.

"Eh, loh, ini punya saya kok. Tadi masnya manggil nama saya," balas cewek itu sama bingungnya.

Esa menatap mas-mas di balik meja kasir. Menuntut penjelasan. "Punya siapa mas?"

"Punya Mahesa."

Cewek itu terlihat berjingkat, lalu menoleh ke arah Esa dengan cengiran. "Sorry, sorry, saya salah denger."

Esa menerima bungkus plastik yang tadi digenggam cewek itu.

"Mas namanya Mahesa?" tanya cewek itu lagi.

Esa mengangguk. Menggeser sedikit posisi cewek itu di depan kasir untuk membayar kebab-nya.

"Iya, saya Mahesa."

Cewek itu melebarkan senyum, manik mata almondnya terlihat berbinar. "Pantesan, saya denger depannya aja tadi, ternyata Mahesa, bukan Mahira."

Mahira.

"Salam kenal, Mahira." Esa memberikan satu senyuman untuk cewek itu.

"Salam kenal juga, Mahesa."

Perkenalan mereka diinterupsi oleh mas-mas di balik meja kasir yang kini memberikan uang kembalian milik Esa.

"Saya duluan, Mahira," ujar Esa lagi dengan anggukan singkat lalu mendorong pintu kaca kafe kebab. Samar-samar ia mendengar nama cewek itu disebutkan dari belakang kasir.

Esa berhenti di samping motornya, menggantung bungkus plastik kebab di bagian depan motor sambil memakai helm. Kepalanya kontan menoleh saat ada motor lain yang berhenti di depan kedai, pikirnya akan bergantian tempat parkir namun yang terjadi adalah hal yang nggak Esa duga.

Motor matic warna mocca yang berhenti di sampingnya itu nggak asing, apalagi sosok yang mengendarainya. Senyum itu masih sama, menenangkan dan entah dari mana rasa rindu kembali menyeruak dalam hatinya.

"Esa! Apa kabar?"

Esa mendadak gagu. "E-eh, alhamdulilah baik. Kamu ... Apa kabar?"

Cewek berjilbab yang masih di atas motor itu makin melebarkan senyumnya lalu mengangguk. "Baik, Alhamdulillah."

Satu suara menyeruak di antara mereka. Gadis ber-tote bag tadi, Mahira.

"Loh, kalian saling kenal?" tanyanya melihat ia dan cewek berjilbab itu.

"Mantan."

"Hah?"

"Dia, Mahesa, mantan pacar yang sering gue ceritain, Ra."

•×•

Mahesa naik Vespa kuningWaahhhhhhhh!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mahesa naik Vespa kuning
Waahhhhhhhh!

•×•

Hiyaaaaa!
Selamat berbuka puasa untuk yang menjalankan! Stay safe and healthy!
Vote yaaaa, komen juga dongg wkwkwk
Makasih!

Perkara CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang