Satu-satu dari mereka melangkah masuk ke hall basket setelah perdebatan di luar tadi. Setelah kejadian tadi sudah pasti jay dan elang akan bertanding dengan amarah diantara keduanya. Tentu saja itu dapat memicu kecurangan-kecurangan dan hal buruk lainnya terjadi.
Luna bisa melihat jay, hesa dan rehan dari tribun atas. Tadinya ia ingin duduk di dekat lapangan agar bisa melihat pertandingan dengan jelas, tapi jay melarangnya dengan alasan takut kena bola. Padahal dia hanya tidak mau anak-anak sekolah lain melirik gebetannya itu saja.
Sementara di sampingnya, jaka daritadi terus mengoceh. Jaka duduk disampingnya karena ia tidak termasuk tim basket. Walaupun saat latihan basket, ia selalu mengintili tiga sahabatnya itu bermain. Membuat orang terkecoh berpikir ia adalah salah satu dari mereka.
Beberapa saat sebelum pertandingan dimulai, di saat pemain yang lain fokus mendengarkan arahan coach sambil meregangkan tubuh mereka, jay perlahan naik ke tribun menuju tempat duduk luna dan jaka.
"Kenapa lagi? Mau minta restu orang tua dulu?" Jaka mengejek jay yang malah kabur dari kerumunan temannya.
Jay tidak menghiraukan perkataan jaka dan langsung menuju ke arah luna, "pinjem kunciran lu dong." Katanya sambil menunjuk pergelangan tangan luna.
"Nih." Kata jaka menyodorkan karet sayur yang ia pungut di pinggir jalan.
"Bukan itu pea." Jay menoyor jidat jaka.
"Hah?" Luna bingung, "buat apa?"
"Biasanya kalo nguncir pake kunciran lu pasti gua menang." Jelas jay.
Luna ragu-ragu melepaskan gelang tipis berwarna hitam itu karena itu adalah punyanya yang terakhir.
"Udah kasih aja lun, entar kalo diilangin minta ganti yang emas." Jaka mengangguk.
Dengan berat hati luna memberi harta karun terakhirnya itu. Ia sengaja membawa-bawanya di tangan untuk jaga-jaga kalau ia gerah suatu saat. Mengingat jay yang tidak pernah memberi tahu kemana tujuan mereka, membangun sifat 'jaga-jaga' luna itu.
"Makasi." Kata jay, tidak lupa menepuk pucuk kepala luna beberapa kali.
Pertandingan sebentar lagi dimulai. Jay sudah balik ke tempat seharusnya. Kedua tim itu berhadapan melirik satu sama lain dengan tatapan tergarang mereka.
Peluit ditiup dan pertandingan dimulai. Hesa berhasil merebut bola pertama dengan postur tubuhnya yang jangkung itu. Dia mencoba untuk memasukan bola ke ring namun diblok oleh elang. Tapi tidak butuh waktu lama, rehan menyambar bola itu darinya dan memasukan bola ke ring.
Di situlah elang tahu bahwa riwayatnya sudah tamat. Terakhir kali ia bermain dengan jay, mereka seri karena team matenya tidak seunggul rehan ataupun hesa.
Menit-menit berikutnya mereka kembali memasuki bola ke ring. Membobol pertahanan lawan tidak susah bagi jay dan teman-teman karena tangan mereka yang panjang membuat mereka meraih ring dengan mudahnya.
Dua kuarter telah berlalu dan tim global jauh lebih unggul daripada elang dan teman-temannya. Perbedaan sepuluh skor itu membuat elang gelisah.
Sejak break kuarter pertama saat para pemain mengumpul di pinggir lapangan–menyusun strategi sembari melepas dahaga–berkali-kali murid gardan (yang perempuan pastinya) menghampiri mereka. Untuk sekedar memberi minum atau bahkan mengajak foto bareng.
Luna tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Entah kenapa ia merasa jengkel menyaksikan kejadian itu. Tapi jay terlihat menolak permintaan foto bareng maupun tawaran minum mereka. Alih-alih ia menatap luna sesekali. Dalam hati kecilnya ia berharap luna yang membawakannya minum–seperti dulu.