dua puluh sembilan

333 37 11
                                    

Akhirnya luna sampai di tempat tujuannya. Hari ini adalah jadwalnya untuk kerja kelompok. Ia mendapat tugas membuat karya tulis bahasa indonesia bertemakan bebas. Dan hari ini luna akan bertemu dengan teman sekelompoknya untuk membahas hal tersebut.

Tempat yang mereka sepakati adalah sebuah kafe kecil yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Begitu sampai disana luna langsung melihat teman sekelompoknya. Bukan, teman sekelompoknya bukan jihan. Mereka memang sudah berdamai dari beberapa minggu yang lalu. Tapi luna bisa menyadari bahwa tingkah jihan menjadi berbeda jauh kepadanya sekarang. Seperti ada dinding tidak terlihat yang memisahkan mereka.

Belum lama mereka berdiskusi, luna meminta izin untuk ke kamar mandi. Letaknya agak jauh dibelakang, jadi tidak terlihat dari tempat ia duduk.

"Sendirian aja."
Suara itu menyapa dibalik suara keran yang mengucur di wastafel. Luna mematikan keran dan mendongak ke kaca–melihat bayangan orang itu. Dan benar saja pemilik suara itu adalah musuh terbesarnya sekarang, elang.

Ia cepat-cepat mengondisikan ekspresi wajahnya. Menarik napas dalam-dalam.

"Eh elu, ngapain disini?" Basa basi luna.

Elang tertawa singkat, "Lo yang ngapain disini? Jelas-jelas ini daerah kekuasaan gua."

Luna memasang wajah kaget, "Demi apa? Baru tau gue."

Luna bohong. Ia sebenarnya tahu.

"Oke, berarti mulai sekarang gua kasih tau kalo ini daerah gua, dan jangan berani-berani lo dateng kesini lagi. Oiya, tumben lo gak sama 'bodyguard' lo itu?"

"Jayendra? Kenapa sama jayendra?"

Elang kembali tertawa lagi. Kali ini dengan nada meremehkan.

"Gimana keadaannya sekarang? Pasti dia lagi nangisin papi kesayangannya itu kan? Yang tukang korupsi, ups." Katanya sambil menutup mulutnya dengan tangan–menahan tawa.

Seketika wajah luna berubah. Senyum basa-basinya luntur. Dia kehilangan kata-kata. Luna tidak habis pikir, bisa-bisanya ada orang yang tega melakukan hal sebejat itu.

"Jadi bener lo pelakunya?" Pancing luna.

"Ya iyalah. Siapa lagi kalo bukan gue yang berani ngelakuin hal kaya gitu. Semua temen-temen gua pada gak setuju pas gua bilang gua mau post menfess itu. Dasar lemah."

Luna menatapnya tajam. Ia tidak sedetik pun melepas eye contactnya dari elang.

"Kenapa lo ngeliatin gua kayak gitu? Ada masalah?"

"Lo sebenernya tau gak sih gua siapa?" Tanya luna.

"Bahan taruhannya jayendra?" Katanya sambil menahan tawa.

"Gua sahabatnya alana."

Elang diam sejenak–berpikir.

"Oh alana yang murahan itu? Denger-denger dia bundir gara-gara gua ya? Lebay banget sih, masa gua ancem gitu doang langsung depresi. Padahal dia sendiri yang ngirim gua foto-foto itu. Bilangin tuh ke sahabat kesayangan lo itu, kalo gak mau fotonya disebar jangan ngirim ke gua sekalian."

Luna bertahan sekuat tenaga untuk tidak bertindak gila saat itu. Ia menahan habis-habisan untuk tetap tenang mendengar semua perkataan yang keluar dari manusia yang berdiri di depannya itu.

"Berapa banyak orang-orang kaya alana diluar sana?" Tanyanya lagi.

"Maksud lo yang jadi korban gua? Gak terhitung lah lun, saking banyaknya. Oiya, gua lagi ngincer target baru si azka, anak kepala sekolah gardan." Jawab elang dengan santai.

"Apa yang bikin lo berani buka-bukaan ke gua? Lo gak takut gua laporin?"

Elang menarik kerah luna. Mendekatnya mukanya ke arah muka luna.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

three months, jayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang