{27} buah peach

440 53 5
                                    

Isi kepala Mark penuh dengan berbagai pertanyaan mengenai apa yang ia jumpai di dalam ruangan Jaehyun tadi, sebelum sang empu bergegas mengusir kehadirannya yang entah sampai kapan tidak akan disambut dengan baik itu. Mark mendengus kasar. Sebelah tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Dirinya sudah meninggalkan kantor cabang setelah urusannya rampung dan segera kembali ke ruang kerjanya di kantor pusat.

Mark menatap ragu pada layar ponselnya yang menampilkan kontak Haechan. Haruskah ia bertanya sekarang?

"Halo?"

"Apa alasan besar seseorang jadi penguntit?" tanya Mark. "Terutama perempuan."

"Eh, pertanyaan lo... kenapa aneh?"

"Jawab aja, gue cuma membahas topik ini lewat telepon sekali. Setelah itu anggap aja nggak pernah tanya."

Seperti biasa Haechan berusaha menyogok sang kakak dengan buah semangka, namun kali ini Mark sedang tidak bercanda. Ia tidak tergiur sedikitpun dengan godaan Haechan. Selama beberapa saat tidak ada suara yang keluar. Keduanya saling berpikir dan membuat praduga terhadap masing-masing.

"Mungkin karena rasa suka yang berlebihan, kayak kasus fans dari artis-artis di tv," sahut Haechan. "Harusnya tanya abang lo tuh, dia punya penguntit sejak SMA, kan?"

Sialan.

Mark nyaris saja mengumpat dengan sangat keras. Bagaimana bisa perkataan Haechan mendadak sangat tepat. Ini semua memang sedang terjadi pada Jaehyun. Tapi setelah berusaha mengingat-ingat beberapa tahun kebelakang itu memang benar. Jaehyun disukai oleh hampir seluruh siswi di sekolahnya dulu karena pintar dan tampan.

Tiba-tiba Mark merasa menyesal, ia merasa buang-buang waktu karena mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu. Bisa jadi karyawan yang dipecat itu penguntit Jaehyun semasa sekolah dulu atau memang orang yang kebetulan mempunyai ketertarikan lebih pada Jaehyun. Kalau Haechan tahu alasannya bertanya pasti dari awal sudah mengumpat habis-habisan.

"Tawaran semangka tadi boleh juga, kalau masih berlaku—"

"Nggak."

Tut!

Haechan memutus sambungan telepon secara sepihak membuat Mark terkekeh. Syukurlah adiknya itu tidak curiga. Memang sebaiknya ia tidak terlalu memusingkan hal-hal sepele yang dilakukan Jaehyun.

Saat Mark melihat sang kakak sebelum mengusirnya tadi terlihat wajah Jaehyun yang agak sayu seperti kelelahan. Sedikit bau alkohol pun tercium bercampur dengan aroma khasnya. Namun Mark buru-buru mengusir wajah Jaehyun dari benaknya, ia tak ingin memikirkan orang itu dan mengembalikan fokusnya pada tumpukan dokumen diatas meja.

***

"Papa, hari ini aku ada les piano."

Donghae mengelus puncak kepala putri kecilnya. "Kita udah lama nggak jalan-jalan ke taman berdua, Sayang."

Bisa dikatakan sangat untuk Donghae bisa menjemput putrinya pulang sekolah karena kesempatan itu biasa dilakukan oleh para putranya yang lain. Ia bingung, sebenarnya mereka bertiga pengertian atau egois. Padahal sesekali Donghae ingin melakukannya sendiri.

Pekerjaannya di kantor tidak terlalu banyak hari ini karena hampir lebih dari setengah bagian ia simpan di meja kerja Mark. Hanya menitip sebentar kok, lagi pula dokumen-dokumen itu baru akan diserahkan bulan depan. Donghae mempersilahkan sopirnya untuk pulang duluan dan memutuskan mengajak Lami menghabiskan waktu berdua saja.

"Nanti Kak Jeno marah kalau aku bolos, Pa."

Gadis kecilnya memasang raut muka khawatir. Walaupun tidak mungkin tapi Lami takut Jeno kecewa bila ia menjadi anak nakal yang suka bolos les. Masih sekecil ini pun Lami sudah punya rasa tanggung jawab yang tinggi. Terpatri sebuah lengkungan manis dibibir Donghae.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang